Matahari terlihat begitu terik siang ini. Membuat beberapa daun-daunan yang sudah mengering pun gugur berjatuhan. Orang-orang pun banyak yang mengeluh akan panasnya siang ini. Cuaca yang begitu terik membuat sebagian dari mereka memilih membeli minuman dingin.
Sebagian lagi ada pula yang berteduh didalam rumah. Malas untuk sekedar keluar di hari yang panas ini. Tapi hal itu tidak berlaku bagi Agam. Cowok dengan tubuh yang kurus itu kini tengah duduk di halte seberang SMA NUSA BANGSA.
Salah satu sekolah favorit dan tentu saja berkelas. Orang-orang yang bersekolah disini hanyalah orang-orang dari kalangan atas saja. Selebihnya murid-murid disini mungkin mendapatkan beasiswa. Agam dengan seragam lusuhnya masih betah duduk di halte itu. Tatapan mata Agam terus mengarah ke arah gerbang. Yang berarti menantikan kehadiran seseorang.
Sesekali Agam menyeka peluh yang sudah membanjiri wajahnya. Senyum juga tidak pernah lepas dari wajahnya. Bahkan Agam tetap mempertahankan senyumnya walau beberapa dari pejalan kaki yang lewat memandangnya dengan berbagai tatapan. Ada tatapan iba dan ada pula tatapan yang seolah jijik saat melihatnya.
Bagaimana tidak, bukan karena bajunya yang sudah tidak putih lagi, melainkan karna celana sekolah khas anak SMa yang ia pakai memperlihatkan bagaimana kondisi sebelah kakinya yang tidak sempurna lagi. Tapi Agam tidak peduli. Memikirkan sakit hati atau sesak karena hal itu tidak akan mengembalikan kakinya seperti dulu lagi.
Jadi, Agam akan mencoba terbiasa. Walau ini juga salah penyebab mengapa ia tidak di adopsi oleh keluarga yang benar-benar tulus padanya. Dan tidak lama kemudian seorang cowok berperawakan tinggi keluar bersamaan dengan sebuah mobil yang berhenti didekat gerbang tersebut.
Agam pun mulai berdiri dengan bantuan tongkatnya. Dapat Agam lihat seorang wanita berparas cantik dengan memakai kerudung keluar dengan menggendong seorang anak kecil yang kira-kira berusia 3 tahun. Agam masih tetap tersenyum walau dadanya kini terasa sesak saat melihat cowok tadi terlihat bahagia setelah menggendong anak kecil tadi.
Kehangatan begitu tampak diraut wajah mereka. Hingga tatapan cowok itu mengarah tepat pada manik Agam. Agam pun semakin memperlebar senyumnya. Senyum yang tampak begitu tulus. Namun reaksi yang Agam dapat justru tidak baik. Cowok itu hanya memandang Agam dengan datar. Senyum cowok itu langsung lenyap saat melihat Agam.
Agam tau bahwa sesak itu kian merajalela hingga membuat matanya berkaca-kaca. Tatapan wanita berhijab itu pun ikut memandang Agam. Lantas yang Agam lihat setelahnya wanita itu menarik pelan tangan cowok itu agar masuk kedalam mobil.
Sampai mobil melaju pun Agam masih betah di posisinya. Saat Agam melihat mobil itu berbelok di tikungan air mata Agam kembali jatuh. Senyum tulus itu berganti menjadi sendu. Nyatanya walau sudah sering mendapat perlakuan seperti ini Agam tidak juga terbiasa. Agam akan selalu menangis saat melihat mobil itu pergi meninggalkannya.
"Bukan cuma sehari Agam nunggu di sini. Tapi, kenapa Kakak engga pernah nyamperin Agam? Agam pengen ikut kakak aja. Agam engga mau pulang ke rumah Ayah. Agam engga mau tinggal di sana lagi, Kak," lirih Agam sembari menyeka air matanya.
Menangis sampai detik terus berlanjut dan Agam pun sadar bahwa ia harus segera bekerja atau ia tidak bisa makan hari ini. Agam pun menyeka air matanya dengan kasar. Maka dari itu dengan hati-hati Agam mengayunkan tongkatnya. Berjalan dibawah matahari yang begitu terik dengan kembali menampilkan senyuman manis.
Nyatanya kehidupan yang rumit membuat Agam pandai berpura-pura pada dunia bahwa ia baik-baik saja. Rutinitas yang Agam lakukan sepulang sekolah nyatanya kembali tidak membuahkan hasil. Kakaknya tetap tidak menghampirinya walau hanya sebentar saja.
Agam sengaja saat mencari sekolah dulu ia kembali ke panti dan menanyakan apakah kakaknya pernah kembali atau tidak. Dan berita baiknya pernah bahkan berkunjung bulanan untuk membawakan makanan atau mainan. Akhirnya Agam pun bertanya apakah Ibu Sita tau dimana kakaknya bersekolah.
Maka dari itu Agam pun mencari sekolah yang lumayan dekat dengan sekolah kakaknya. Tentu saja Agam tidak seberani itu untuk mendaftar di SMA NUSA BANGSA. Selain uang sekolah yang sangat mahal Agam juga tidak akan betah kalau harus ditindas setiap harinya. Disekolah yang sekarang saja Agam tidak mempunyai teman. Hari-harinya penuh dengan tindasan.
Tapi saat pulang sekolah apapun keadaannya Agam akan tetap kembali ke halte itu. Menunggu kakaknya datang menghampiri. Agam tidak pernah punya nyali yang kuat untuk sekedar menghampiri. Kendati ia tau penolakan lah yang akan ia terima. Maka dari itu Agam menunggu belas kasih atau rasa kasihan kakaknya. Berharap dengan rasa kasihan itu Agam bisa keluar dari hidupnya yang mengerikan.
"Permisi, Bu. Maaf, ya, kalau Agam telat," ucap Agam sesaar setelah sampai di sebuah restoran.
Ibu Hasna. Satu-satunya pemilik yang mau menerima Agam bekerja disini. Setiap harinya Agam akan datang dan masuk lewat pintu belakang sama seperti pekerja lainnya. Disini setidaknya mereka tidak memandang Agam rendah. Mereka memperlakukan Agam selayaknya manusia.
"Gapapa, Nak, gimana hari ini? Berhasil?" tanya Ibu Hasna dengan senyum hangatnya.
Agam menggeleng pelan sambil tetap tersenyum. Namun, berbanding terbalik dengan senyum Ibu Hasna yang langsung luntur.
"Masih belum nyamperin kamu? Apa perlu besok Ibu temani bicara dengannya?" tanya Ibu Hasna. Pertanyaan yang entah sudah berapa kali di lontarkan. Lagi Agam menggeleng sebagai jawaban.
"Enggak usah, Ibu tenang aja, kakak bakal nyamperin, kok. Tapi, bukan hari ini," ujar Agam dengan raut wajah yakin.
Sementara Ibu Hasna yang tau benar bagaimana hidup Agam pun menghela nafas pelan.
"Ikut ibu aja, yuk, kita cari suasana baru buat Agam," ajak Ibu Hasna dengan raut tulus.
Ibu Hasna dan suaminya sudah berumah tangga selama 10 tahun namun belum dikaruniai keturunan. Sepasang suami istri itu pun begitu baik dengan Agam. Bahkan Ibu Hasna terkadang mengajaknya ikut bersama mereka. Mengangkat Agam menjadi anak mereka.
Namun, Agam selalu menolak. Agam merasa ia masih punya Alex sebagai kakak. Ia juga punya orang tua angkat dirumah. Jadi, tidak semudah itu pergi tanpa kabar. Agam tidak bisa. Apalagi Om Dendi, suami Ibu Hasna, merupakan pengusaha berpengaruh. Dan Ibu Hasna pernah mengatakan jika Agam mau ikut dengannya mereka akan tinggal di Jerman bersama dengan Om Dendi. Tentu itu terlalu jauh. Agam tidak bisa. Masih ada harapan disini.
"Agam engga bisa, Bu. Maaf, Agam masih mau nunggu sebentar lagi, kok. Makasih ya, Bu, untuk tawarannya," ujar Agam dengan senyum hangat.
Nyatanya Agam selalu tergiur dengan ajakan itu. Menjadi anak angkat dari sepasang suami istri kaya raya lalu kasih sayang yang berlimpah. Namun, Agam tetap ingin bertahan sebentar lagi. Sebentar lagi saja.
¤¤¤¤
Selamat membaca😊
Salam manis,
Ans Chaniago19:51 WIB
16 Januari 2020

KAMU SEDANG MEMBACA
AGAM (End)
Teen FictionAgam itu selalu sendiri. Tidak ada penyemangat atau sosok yang selalu menyemangatinya. Ditengah kesulitan hidup yang pelik, Agam berusaha keras tetap bertahan. Menanti sebuah pelukan hangat dari satu-satunya keluarga yang ia punya. Selain pelukan, A...