• 6 •

13.9K 1.4K 35
                                    

Cuaca siang ini begitu terik seperti hendak membakar kulit.

Lapangan yang biasanya dipenuhi oleh anak basket kini tampak sepi. Cuaca yang panas membuat mereka enggan untuk bermain.

Lain hal nya dengan kantin yang kini tampak semakin ramai. Rata-rata dari para murid tampak memesan minuman dingin.

Namun, tak jarang pula ada yang memesan bakso atau mie. Untuk mengisi kekosongan perut mereka.

Dan disaat mereka tampak menikmati makanan. Lain halnya dengan Agam yang tampak duduk diam di kursi depan kelas.

Agam lapar juga haus. Tapi Agam tidak punya uang lebih untuk sekedar jajan. Uang yang kakak beri kemarin Agam simpan. Siapa tau Agam butuh dikemudian hari.

Lagi pula ini bukan pertama kalinya Agam tidak jajan ke kantin. Selain tidak punya uang Agam juga tidak tau ingin mengajak siapa kesana.

Agam sama sekali tidak memiliki teman dekat. Bahkan beberapa teman sekelasnya jelas-jelas menolak kehadiran Agam.

Sekolah Agam memang bukan sekolah dimana isinya anak orang kaya semua. Tapi keadaan ekonomi mereka bisa dibilang jauh dari Agam.

Jangankan teman untuk diajak ke kantin. Terkadang kalau ada tugas kelompok yang mengharuskan Agam mengeluarkan uang, maka Agam terkadang suka terhambat disitu.

Hal itu menyebabkan mereka berpendapat bahwa Agam pelit atau tidak mau rugi. Padahal ini tugas bersama. Bukan itu. Terkadang uang lima ribu saja sangat berharga bagi Agam.

Bisa untuk membeli nasi bungkus walau hanya berupa nasi dengan telur dadar saja.

Tapi bagi Agam itu sudah istimewa. Bisa makan saja ia syukur.

Sedari tadi pula pandangan Agam tak hentinya melihat ke arah sekitar. Banyak murid yang tengah bercengkrama bersama temannya.

"Agam!" sentak suara itu yang membuat Agam pun menoleh dan mendapati teman sekelasnya, Beno, yang tampak memasang raut wajah kesal.

"Lo dicariin sama Bu Ratna! Lo disuruh nemuin Ibu itu keruang guru, buruan!" sentak Beno yang membuat Agam mengangguk lalu berdiri dibantu dengan kedua tongkatnya

Agam sempat memberikan senyum sekilas pada Beno sebelum mengayunkan tongkatnya menuju ruang guru.

Karena kelas Agam yang letaknya tidak terlalu jauh dari kantor guru, Agam pun kini sudah sampai didepan ruang guru yang pintunya tampak tertutup rapat.

Dengan menghembuskan nafas pelan Agam pun mengetuk pintu lalu membukanya dengan pelan.

Senyum bu Ratna dan guru lainnya pun memyambutnya.

"Agam, sini duduk nak" ujar Bu Ratna yang menyuruh Agam agar duduk di kursi seberang wanita itu.

Agam pun mengangguk dan langsung duduk sesuai perintah Bu Ratna.

"Agam, ibu tidak ingin basa-basi, Ibu ingin bertanya mengenai uang sekolah uang belum kamu bayar" jelas Bu Ratna yang mampu membuat Agam menunduk diam.

"Kamu sudah terlalu telat untuk membayar nak. Apa ibu boleh tau sebabnya kenapa kamu bisa telat bayar?" tanya Bu Ratna hati-hati.

Agam sesaat hanya mampu meremat tangannya dengan wajah yang masih menunduk.

"Agam" panggil Bu Ratna yang melihat Agam hanya diam tanpa menjawab pertanyaannya.

"Bu, apa boleh Agam minta waktu untuk melunasi semua biayanya?" tanya Agam berusaha menghindari topik ini.

Bu Ratna tampak menghela nafas pelan. Tatapan wanita itu berubah serius. Tidak ada lagi raut hangat yang ditunjukkan.

"Bulan lalu kamu juga mengatakan hal itu Agam. Ibu hanya ingin tau apa ada masalah agar ibu juga bisa memberi solusi lain padamu" terang Bu Ratna yang membuat mata Agam berkaca-kaca.

"Agam, ibu tanya sekali lagi. Apa yang menyebabkan kamu terlambat membayar? Ibu tau kamu tidak nyaman dengan hal ini. Tapi jika kamu sedikit terbuka mungkin ibu bisa membantu mencarikan solusi" tambah Bu Ratna lagi.

Agam pun mengangkat wajahnya dan Bu Ratna terkejut saat melihat mata Agam yang sudah berkaca-kaca.

"Maaf bu, Ayah belakangan ini hanya mendapat penghasilan yang cukup buat makan saja. Agam lagi usaha bantu Ayah supaya bisa bayar uang sekolah. Agam mohon bu, beri Agam waktu supaya bisa lunasi semuanya" ujar Agam dengan raut wajah sendu. Bu Ratna pun terdiam.

Agam berbohong. Ayah berkerja? Agam mengarang hal itu. Jelas saja Ayahnya tidak bekerja dan hanya bisa menghabiskan uang yang Agam dapatkan. Namun, Agam hanya ini alasan yang tepat.

Sebab kehidupan Agam seperti dram jika harus diceritakan. Bukannya mendapatkan solusi tapi malah membuat mereka muak.

"Lalu bagaimana caranya kamu melunasi semua ini? Kamu bekerja?" tanya Bu Ratna lagi.

Agam pun lantas mengangguk dan sekali lagi mampu membuat Bu Ratna terdiam.

Sesaat setelah jeda beberapa saat, Bu Ratna pun kembali buka suara.

"Begini saja, Ibu akan memberikan surat pada Ayahmu untuk datang ke sekolah ini guna membahas perihal uang sekolah. Ibu beri waktu seminggu. Usahakan ayahmu bisa datang Agam" jelas Bu Ratna yang memberikan surat yang sudah disiapkan sedari tadi pada Agam.

Agam pun menerimanya dengan tangan gemetar. Bukan, bukan karena masalah ia mendapat surat itu.

Tapi, masalahnya siapa yang akan datang ke sini untuknya?

"Baik, ibu rasa ini cukup. Sebentar lagi bel istirahat selesai. Lekaslah kembali kekelas Agam" perintah Bu Ratna.

Agam pun mengangguk lalu pamit dengan sopan.

Tepat setelah Agam keluar, banyak dati guru yang ada disana menatap kepergian Agam dengan tatapan iba.

Mereka jelas mendengar pembicaraan Agam dengan Bu Ratna. Ini bukan pertama kalinya Agam dipanggil karena masalah uang sekolah.

Namun, alasan itu baru terlontar sekarang. Dan mereka mendengarnya.

Sementara Agam kini mengayunkan tongkatnya dengan pelan disepanjang koridor. Ayunan tongkatnya terkesan enggan menuju kelas.

Yang Agam pikirkan hanya siapa yang akan datang memenuhi panggilan Bu Ratna? Ayah? Tentu tidak.

Agam saja tidak berani mencoba sebab sudah tau bahwa yang ia dapat bukan hanya cacian tapi mungkin saja tamparan atau lainnya.

Lalu siapa yang akan ia mintai tolong?

Lalu wajah sang kakak pun muncul dipikiran Agam. Agam sempat terdiam. Menimang apakah ia harus mencoba membujuk kakaknya atau tidak.

Namun, setelah menimang-nimang akhirnya satu nama pun muncul dibenak Agam dan tanpa sadar membuat Agam tersenyum.

Mudah-mudahan saja orang itu mau membantu Agam. Jika tidak Agam benar-benar tidak tau harus minta tolong pada siapa.

Menyedihkan sekali menjadi Agam. Masih mempunyai orang tua angkat namun sama saja seperti tidak memiliki orang tua.

Masih mempunyai saudara kandung nyatanya seperti anak tunggal.

Semenyedihkan itu Agam. Agam tidak hidup sendirian. Tapi entah kenapa Agam selalu merasa bahwa ia memang terlahir sendirian.

Tidak ada yang sudi berteman dengannya. Ayah membencinya begitu pula kakak. Kehadirannya seolah ditolak dunia.

¤¤¤

Selamat membaca😊

Salam manis,
Ans Chaniago

20:08 WIB

27 April 2020

AGAM (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang