Pukul lima sore Agam masih betah diam memandangi nisan kedua orang tuanya.
Hari ini restoran tutup. Besok kemungkinan akan buka kembali. Begitulah kata Mbak Tika tadi.
Agam rasanya ingin terus menangis meluapkan kesedihannya. Tapi, air matanya seolah kering dan tak bersisa.
Hal itu tentu saja membuat dadanya terasa sesak dan nafasnya tercekat.
Agam memang bodoh menolak tawaran itu. Tapi, setidaknya Agam masih bisa menaruh harapan pada Ayah yang suatu saat mungkin saja berubah.
Atau pada kakak yang mungkin akan mengakuinya sebagai adik. Agam hanya bisa berharap tanpa tau hasilnya akan baik atau buruk.
Ini sebenarnya sudah terlalu sore. Tapi, Agam masih betah diam di area pemakaman.
Agam akan menunggu sebentar lagi. Siapa tau kakak akan datang kali ini. Walau kemungkinannya begitu kecil. Tak salah kan kalau Agam berharap?
Hingga dua puluh lima menit pun berlalu, Alex tak kunjung juga muncul.
Agam lantas pamit pada nisan kedua orang tuanya. Lalu berbalik dan mengayunkan tongkatnya keluar dari area TPU.
Tepat saat sampai diluar Agam terkejut saat melihat kakaknya bersender di mobil sambil bersedekap begitu melihat Agam keluar dari area TPU.
Agam pun lantas menghampiri Alex dengan senyum lebarnya. Agam senang kakak menepati janji walau pun tidak menemaninya kedalam TPU.
"Kakak uda lama? Kok enggak masuk? Mama sama Papa pasti kanget banget sama kakak" tanya Agam antusias.
Alex menghela nafas kasar. Terlalu malas untuk meladeni Agam.
"Jangan banyak bacot deh. Buruan naik, lo ngajak gue kerumah lo kan?"
Setelahnya Alex pun memutari depan mobil dan membuka pintu mobil kemudi.
Sementara Agam hanya diam pada posisinya sambil tetap memasang senyum.
Alex yang merasa jengah dengan sikap Agam pun membunyikan klasonnya hingga membuat perhatian beberapa orang di pinggir jalan teralih pada mereka.
"Lo itu niat gak sih sebenarnya? Buruan gur bilang!" bentak Alex yang keluar lagi dari mobil dan memandang Agam dengan tajam.
Agam pun menggeleng kaku.
"Kalau kakak duluan yang kerumah gapapa kan? Aku mau mampir ke suatu tempat sebentar" ujar Agam berusaha menghalau air mata yang hendak jatuh.
"Banyaan maunya lo ya! Ngelunjak emang. Kasihin gue alamatnya!" sentak Alex dengan tidak sabar.
Agam pun menyebutkan alamatnya. Alex yang sudah mencatat alamatnya di ponsel pun lantas kembali masuk ke mobilnya dan melaju meninggalkan Agam yang kini sudah menangis deras.
Agam pun mengayunkan tongkatnya menuju jalan pulang. Agam tidak mampir kemana pun. Itu tadi hanya alasan saja.
Agam hanya bingung bagaimana ia masuk kedalam mobil kakaknya dengan tongkatnya yang pasti ujungnya akn nerepotkan kakaknya.
Agam pikir tadinya kakak akan sadar kalau Agam merasa kesulitan memikirkan itu. Tapi yang ada Agam malah dibentak-dibentak.
Agam mengucapkan kata sabar berulang kali pada hatinya. Menangis juga tidak akan membuat kakak kembali kesini.
Waktu pun terus berjalan. Alex sudah setengah jam yang lalu sampai didepan sebuah rumah kecil yang bahkan ukuran garasi dirumahnya saja masih lebih besar.
Sebab Ayah angkatnya mengoleksi mobil-mobil mewah dengan harga yang tentu saja diatas seratus juta.
Alex berulang kali mengumpat dan menyumpah serapahi Agam yang tak kunjung datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGAM (End)
Novela JuvenilAgam itu selalu sendiri. Tidak ada penyemangat atau sosok yang selalu menyemangatinya. Ditengah kesulitan hidup yang pelik, Agam berusaha keras tetap bertahan. Menanti sebuah pelukan hangat dari satu-satunya keluarga yang ia punya. Selain pelukan, A...
