Revisi : 23 Juni 2020
° ♥ °
Masih menempelkan ponsel pada telinga, aku berlari menuruni tangga. Aku harus buru-buru karena sampai detik ini Jaemin masih misuh-misuh dari balik sambungan telefon kami. Ia terus memintaku untuk cepat karena di luar dingin, katanya. Aku tidak berbicara, hanya mendengarkan celotehannya.
Langkah kakiku melambat saat sudah berada dekat dari pintu utama, sekitar radius tiga meter. Tiba-tiba sekelibat pikiran buruk muncul dibenakku. Itu membuatku mulai ragu untuk membuka pintu. Namun, meskipun begitu, aku masih belum berhenti berjalan. Tanganku juga sudah meraih gagang pintu.
Bagaimana kalau bukan Jaemin yang ada di depan rumahku? Karena tidak mungkin ia tahu alamat rumahku. Aku tidak pernah memberitahu ini padanya.
"Woy, lo ngapain dulu sih?! Bukain pintu aja lama bener dah!"
Benar, itu suara Jaemin. Tapi, apalagi yang aku ragukan?
Bisa saja Jaemin berbohong. Ia hanya sedang mengusiliku seperti biasanya. Mungkin saja kalau Jaemin menelfonnya sembari berbaring di kamarnya. Itu masuk akal kan?
"I-iya, sabar," jawabku menahan gugup. Aku takut, serius. "L-lo beneran di depan rumah gue?" tanyaku memastikan.
"Buset dah! Daritadi masih gak percaya lu ama gua?!"
"B-bukan gitu, tapi... coba ketuk pintu dulu!" titahku.
Tokk. Tokk.
"Tuh, udah kan?! Denger gak lu?! Ini dingin banget woy!"
Benar sih ada yang mengetuk pintu dari luar, suaranya terdengar sangat jelas. Tapi, tetap saja aku takut. Belum bisa percaya sepenuhnya kalau itu Jaemin. Karena tidak masuk akal.
Atau, jangan-jangan itu orang jahat?! Dia mau menculikku, ya?! Dia menjebakku dengan berpura-pura menjadi Jaemin, lalu dia akan—
Ah, sudah cukup! Berhenti memikirkan hal-hal buruk, Nara! Rasa ketakutan kamu kali ini berlebihan.
"I-iya-iya, ini gue bukain pintu."
Pada akhirnya aku menyerah. Aku memaksa diriku untuk melawan rasa takutku sendiri, meskipun itu sangat sulit. Ditemani rasa gugup, aku menarik gagang pintu perlahan. Membukanya hingga cukup lebar.
Aku sedikit menunduk dan memejamkan mata. Tidak berani melihat ke depan. Pikiranku kembali memikirkan hal-hal liar karena aku terlalu takut. Sampai akhirnya suara laki-laki yang terdengar membuatku mendadak berani membuka mata.
"Ngapa lu? Takut amat dah kayaknya," celetuk laki-laki itu.
Aku mengangkat kepalaku, sedikit mendongak. "A-ah, ng-nggak," jawabku sembari menggeleng cepat.
Benar, itu Jaemin.
Syukurlah ketakutanku tidak jadi kenyataan. Aku menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya dengan lembut, merasa sedikit lega. Perlahan, kedua sudut bibirku naik, menyungging seulas senyum tipis.
"Itu hape mau nempel sama kuping sampe kapan?" tanyanya tiba-tiba.
"Hah? O-oh iya, lupa hehe."
Dengan sedikit rasa malu, aku menurunkan ponselku dari telinga lalu memutus sambungan telepon kami. Sepertinya aku terlihat seperti orang bodoh tadi. Aku mengusap tengkukku setelahnya sembari terkekeh pelan.
"Lucu banget dah," katanya sambil tertawa renyah.
"Apanya?" tanyaku bingung.
"Elo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Diary✔
Фанфик[Complete] "Kamu itu cuma kasian. Mana mungkin kamu bisa cinta sama orang gila, Jeno?" ©Scarletarius, 2020