[extra] Jeno pt.2: let it flow, life must go on

325 28 2
                                    

Ada banyak hal yang berubah dari Jeno. Mahasiswa kedokteran yang biasanya tampak rapi dengan setelan kemeja tiap kali datang ke kampus juga murah senyum kini berubah bak orang yang berbeda—hanya mengenakan hoodie hitam dengan tudung yang selalu menyangkut di atas kepala untuk menutupi ekspresi wajahnya.

Jeno yang biasanya memiliki aroma tubuh semerbak sebab beberapa semprot parfum mahal, kini lebih sering tercium bau asap rokok dan bau alkohol yang menguar dari tubuhnya.

Sudah sepuluh hari. Tentu lah orang-orang menyadari perubahan yang begitu kontras dan berbanding terbalik dengan 'Jeno yang biasanya'. Pada awalnya, semua orang bertanya-tanya.

Ada apa dengan Jeno?

Apa yang terjadi sebenarnya?

Kenapa seorang mahasiswa teladan yang selalu jadi kebanggaan dosen-dosen berubah penampilan layaknya seorang berandal?

Sampai akhirnya sebuah rumor beredar ke seluruh penjuru kampus. Kabar sampah itu menyebar luas dengan sangat cepat—meski sebuah kabar sampah, Jeno tak bisa memungkiri jika itu adalah sebuah fakta memalukan. Sebuah aib yang merusak reputasi baiknya. Membuatnya yang biasa diagung-agungkan kini dicibir sana-sini. Jeno tak punya hak untuk marah, sebab ia memang mengh—

Dugh!

Jeno yang sedang berjalan keluar dari perpustakaan sembari menunduk, tiba-tiba tertabrak —atau mungkin ia yang menabrak(?)— seseorang yang berjalan dari arah yang berlawanan.

"S-sori-sori, gak sengaja," ujar laki-laki di hadapan Jeno, meminta maaf dengan sedikit kikuk.

Jeno tak banyak merespon, hanya mendongak lalu melayangkan tatapan tajam pada lelaki tersebut tanpa mengeluarkan kedua tangannya dari balik saku hoodie. Kedua alis milik sosok yang ditatap tajam tampak naik—ekspresinya jelas menampilkan tampang bingung.

Tak sampai lima detik, Jeno merotasikan kedua bola matanya tanpa minat kemudian kembali berjalan menuju arah tujuannya. Laki-laki yang biasanya hangat kini jadi sangat dingin, seperti orang yang hatinya beku.

Namun, saat dirinya sudah berada di ambang pintu, ia memaksa kakinya untuk berhenti melangkah—hatinya yang memberi perintah. Ia memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat, memperhatikan lamat-lamat lelaki yang tadi sempat menabraknya itu tengah menarik kursi, duduk tepat di hadapan seorang gadis yang sangat ia kenali. Meski tidak menggunakan kaca mata dan pandangannya sedikit kabur, ia bisa bertaruh jika pengelihatannya tidak salah.

Tatapannya yang semula datar dan dingin perlahan mulai berubah menjadi lirih. Pemandangan itu tak akan pernah bisa membuat hatinya terbiasa, hati kecilnya terus berteriak sebab tak terima, tapi tak ada yang bisa ia lakukan—terlebih statusnya sekarang bukan siapa-siapa.

Senyuman itu, Jeno pikir hanya ia satu-satunya yang mampu membuat gadis tersebut berekspresi demikian, ternyata tidak, perannya sudah digantikan oleh orang lain.

Jeno sudah mengenalnya selama bertahun-tahun, ia yakin seratus persen jika itu bukan senyum palsu, itu tampak begitu tulus—dan manis.

Jeno berani bersumpah, ia benar-benar merindukan gadis yang pernah menjadi miliknya itu. Senyumannya, suara tawanya, pelukannya yang hangat, tak ada yang mampu melepas semua bayang-bayang itu dari kepala Jeno hingga detik ini.

Entah ia harus bersyukur atau mencaci takdir yang tampak mempermainkannya layaknya orang bodoh seperti ini.

Sebelumnya, ia tahu, mantan kekasihnya itu sudah berada di perpustakaan sejak lima belas menit yang lalu—ia datang lima menit lebih cepat, kebetulan duduk di sudut ruangan. Pandangannya yang tanpa sengaja melihat gadis itu membuatnya terpaksa terpaku. Gadis itu hanya berkutik pada beberapa tumpuk buku berhalaman banyak yang tergeletak di meja, tanpa menyadari jika ada sepasang mata yang terus menatapnya dengan intens selama beberapa menit hingga akal sehat Jeno kembali.

Dan untuk kedua kalinya, Jeno kembali tampak layaknya orang bodoh sebab memandangi gadis itu 'lagi' diam-diam dari jauh. Tak banyak yang bisa Jeno lakukan. Hanya seperti ini cara baginya untuk mengobati rindu meski pahit dan perih.

"Jeno?"

Refleks Jeno menoleh saat ada sebuah tangan yang menepuk bahunya beberapa kali juga suara yang memanggil namanya dengan lembut. Jeno hanya mengangkat alis saat pandangannya bertemu dengan gadis itu.

"Lo masih ada kelas sekarang?"

Jeno menggeleng cepat, "enggak, kenapa?"

"Kalo gitu, pulang yuk?" Jeno tak banyak merespon, masih diam dengan tatapan yang sukar diartikan. Gadis itu mendadak kikuk. "Eum, g-gue... pulang sama lo kan?" Sambungnya, memastikan.

Lelaki itu menghela napas halus, berusaha sesamar mungkin agar sosok dihadapannya tidak menyadari itu. Sedetik setelahnya ia kembali mengangguk sebagai jawaban.

"Ayo," titahnya cepat seraya tersenyum tipis—memaksa.

Kedua sudut bibir gadis itu naik melawan gravitasi, senyumnya mengembang dan merekah. Pada detik yang sama, ia langsung memeluk lengan kiri Jeno erat-erat, membawa dan menuntunnya untuk beranjak dari ambang pintu. Jeno tak banyak protes, ia hanya diam meski tak sepenuhnya merasa nyaman.

"Nanti sebelum pulang, kita ke restoran dulu yuk. Gue mau makan di...."

Suara gadis itu teredam hanya dalam hitungan detik saat Jeno kembali tenggelam dalam lamunannya.

Sekali lagi, Jeno menoleh ke belakang, menatap dua insan yang sebelumnya duduk berhadapan kini justru berdampingan.

Kedua sudut bibirnya sedikit naik, ia tersenyum getir. Meski ini keputusannya, tetap saja ia tak bisa terbiasa, masih tak bisa merelakan Nara —yang semula adalah miliknya— untuk orang lain. Hati kecilnya terus berontak, bersikeras merebut kembali apa yang pernah menjadi miliknya, namun ia masih cukup waras untuk tidak mendengarkan kata hati yang akan menjebaknya dalam keadaan yang lebih sulit.

Sebelum pandangannya semakin kabur sebab jaraknya dengan dua sosok itu semakin jauh, Jeno kembali menatap lurus ke jalan.

Ia harus secepatnya belajar melepas, belajar merelakan keadaan, belajar menerima dan tak menentang benang merah takdir. Sebab saat ini, ia sudah punya sebuah tanggung jawab baru. Ia harus ingat itu.


























































• • •

sudahlah ya cukup segini aja intermezzo-nya, gak perlu banyak-banyak soalnya part ini sama sekali gak aku prepare baik-baik.

seharusnya extra part Jeno tuh berakhir di part kemarin, sudah harusnya finish disitu tapi... aku greget hehe😆

btw, sequelnya udah aku publish ya! jadi jangan lupa cek ke profil aku terus add BREAK UP ke library atau ke readlist kalian

btw, sequelnya udah aku publish ya! jadi jangan lupa cek ke profil aku terus add BREAK UP ke library atau ke readlist kalian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

see you!


















(extra notes)

sequel aku unpub soalnya terbengkalai, tapi kalo masih penasaran boleh mampir ke SWEET REVENGE karena ceritanya ada di satu universe yang sama

--ya walaupun part nara-jenonya dikit, lebih condong ke jaemin

seengaknya kalo cuma mau cari jawaban atas alasan kenapa mereka putus sih ada, cuma adegan uwu-uwu nara-jeno yang gak ada

Dear Diary✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang