Revisi : 22 Juni 2020
° ♥ °
Aku tidak langsung menjawab pertanyaan— ah bukan, tawarannya. Perlu waktu bagi kepalaku untuk mencerna kalimat laki-laki itu. Namun, meskipun sudah paham, aku masih tetap diam. Hanya menatap retinanya yang juga beradu dengan milikku. Bingung harus jawab apa.
Aku bimbang. Pada satu sisi, aku ingin menolak karena merasa sungkan padanya. Kami tidak terlalu dekat —ya, meskipun dalam urusan tolong-menolong tidak perlu ada kata 'dekat' terlebih dahulu. Tapi, pasti akan sangat canggung. Lagipula, hatiku masih bersikeras untuk menunggu. Ia sangat yakin kalau orang yang aku tunggu pasti akan datang-meskipun tidak tahu kapan waktu yang pasti.
Di sisi lain, aku sudah sangat jengah. Menunggu berjam-jam dengan penuh harap tanpa hasil yang jelas itu melelahkan. Aku ingin pulang. Aku butuh istirahat. Aku rindu waktu berbaring dan bersantai di rumah.
Kini hati dan kepalaku bertikai. Otak memerintahku untuk menerima tawaran Jeno agar bisa segera pulang dan beristirahat. Hari ini cukup melelahkan. Tapi, hati menentang keras. Bagaimana kalau aku memilih pulang, lalu Papa datang selang beberapa waktu setelahnya? Aku akan sangat menyesali keputusanku. Begitu kata hati.
"Kok diem aja?"
Suaranya yang lagi-lagi terdengar berhasil membuyarkan lamunanku. Aku menggeleng samar, berusaha mengembalikan kesadaranku. Aku mengembalikan arah pandanganku pada wajah laki-laki di hadapanku. Sepasang netraku entah menatap kemana sebelumnya, hanya menatap kosong ke sembarang arah.
"Oh, i-iya. Kenapa?" tanyaku sedikit kikuk.
"Gimana? Gue anter pulang, ya?" ujarnya, masih mengulang pertanyaan yang sama.
"Euhm... g-gue pulang sendiri aja deh, nanti. Lo kalo mau pulang gak apa-apa, duluan aj—"
"Gak baik cewek pulang sendirian, udah mulai gelap," katanya, memutus kalimatku. "Gue temenin nunggu deh kalo gitu," ujarnya lagi, menyambung kalimat sebelumnya.
"E-eh? Eng-gak u-sah, Jen—"
"Limabelas menit, setelah itu kita pulang. Gue yang anter," katanya cepat.
Kalau sudah seperti, akan sulit untuk dibantah. Pada akhirnya aku hanya bisa pasrah.
"Y-ya udah, deh."
Penyetujuanku menjadi akhir dari obrolan kali ini. Setelahnya, kami sama-sama diam. Aku sedikit menunduk, kembali mengaduk secangkir greentea latte yang sama sekali belum aku minum sejak pertama kali datang.
Meskipun aku memesannya dalam keadaan panas, sekarang sudah jadi dingin. Aku mulai mengangkat gelas lalu mulai menyeruputnya perlahan.
"Kita gak pernah ngomong ke satu sama lain, ya sebelumnya?"
Aku meliriknya sekilas kemudian mengangguk. "Iya, gak pernah," ujarku sambil kembali meletakkan cangkir minumanku.
"Aneh, padahal gue kenal lo udah lumayan lama. Masa iya, kita gak pernah saling sapa waktu papasan?" ujarnya sambil tertawa renyah.
Aku ikut terkekeh, "emang lo kenal gue dari kapan?"
"Gak tau, gak inget persisnya kapan. Pokoknya, sejak Jaemin mulai ngomongin lo mulu. Yang jelas sih, itu udah lama," jawabnya.
Mendengar tanggapannya, suara tawaku perlahan memudar.
"Jaemin suka ngomongin gue? Dia bilang ap— b-bukan bermaksud kepo, cuma... bukan yang aneh-aneh kan?"
Ia mendengus geli sambil menggeleng, "bukan kok."
"Oh, bagus deh," gumamku sambil mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Diary✔
Fiksi Penggemar[Complete] "Kamu itu cuma kasian. Mana mungkin kamu bisa cinta sama orang gila, Jeno?" ©Scarletarius, 2020