18 • boys talk

213 45 3
                                    

Aku berjalan tepat di belakang Kak Doyoung. Mengekornya yang baru saja membuka pintu dan masuk ke dalam rumah. Dan, tepat dibelakangku ada Jeno. Tingkah jantungku sudah tidak terdefinisi, degupnya terlalu cepat. Aku deg-degan, sumpah.

Sebenarnya, sejak disemprot dengan pertanyaan Kak Doyoung dan Jeno sebelumnya, jantungku sudah begini. Bahkan, aku malah mengalihkan topik perbincangan dan memberi isyarat agar cepat pulang.

Saat di dalam mobil bersama Kak Doyoung pun aku terus memperingatkan laki-laki itu agar tidak berkata yang macam-macam. Aku juga sudah mengancamnya dengan ini-itu. Jadi, mari berharap agar Kak Doyoung menurut padaku.

"Ganti baju sana, Ra," titah Kak Doyoung yang baru saja duduk di sofa tunggal.

"Nanti, ah."

Bukannya menurut, aku malah berjalan mendekat padanya, berniat duduk di sofa panjang. Tepat di sebelah tempat ia duduk.

"Jangan kebiasaan, ganti baju dulu!" ujarnya galak.

Padahal tinggal beberapa senti lagi bokongku menempel dengan sofa yang empuk ini. Aku menghela napas panjang. Mau tidak mau aku kembali bangkit. Aku mendengus sambil berjalan meninggalkan kedua laki-laki itu.

Ekor mataku bisa melihat Jeno yang tengah meletakkan helmnya di sofa panjang dan duduk tepat di sebelahnya. Ada jarak diantara keduanya. Mereka tidak duduk berdekatan. Jeno bahkan hampir duduk di ujung sofa, sangat bersebrangan dengan Kak Doyoung. Dari gelagatnya, laki-laki itu juga terlihat agak gelisah.

Ada apa sebenarnya? Memangnya, apa yang ingin laki-laki itu katakan pada kakakku? Kok perasaanku tidak enak, ya?

Aku menggeleng cepat. Aku langsung berjalan dengan sedikit terburu-buru. Menaiki anak tangga dengan sedikit berlari menuju kamar. Hal berbahaya dan harus aku hindari kali ini adalah membiarkan Kak Doyoung mengatakan 'pernyataan terlarang' tentangku pada Jeno. Aku harus cepat. Jangan sampai Kak Doyoung memiliki kesempatan untuk mengatakannya.

Aku akan malu seumur hidup kalau Jeno sampai tahu jika aku menyukainya. Apalagi kalau dari mulut Kak Doyoung. Habis lah, tamat riwayatku.

Aku langsung membuka pintu kamar. Aku menyelonong masuk dan langsung membuka lemari. Aku mengambil shirt polos berwarna maroon dan celana trainning adidas. Sebenarnya aku hanya mengambil acak. Yang terlihat di depan mata saja.

Padahal, biasanya aku selalu mengenakan celana pendek jika berada di rumah. Tapi, Kak Doyoung bisa saja marah kalau aku memakai celana dengan panjang setengah paha di depan orang lain, apalagi kalau itu laki-laki. Berbahaya katanya, bisa memancing kaum laki-laki untuk—

...ya, seperti itu lah. Paham kan?

Aku langsung mengganti pakaianku dengan cepat dan melempar seragam sekolahku asal ke atas kasur. Tenang, aku akan merapikannya, tapi nanti. Aku harus kembali menghampiri kedua laki-laki itu secepat mungkin.

Aku langsung berlari kecil untuk keluar kamar. Aku terlalu buru-buru hingga lupa menutup pintu kamar. Ya sudah lah, tidak akan terjadi apa-apa juga kalau aku tidak menutupnya.

Aku berjalan menuruni tangga. Mataku terus menatap kedua laki-laki itu dari jauh. Mereka terlihat seperti sedang berbincang santai saja. Syukurlah Kak Doyoung tidak bertingkah ketus pada orang yang baru ia kenal kali ini. Semoga saja aku belum kecolongan.

Entah, apakah derap langkahku terlalu kencang, tapi Kak Doyoung langsung menoleh saat aku berada beberapa meter di belakangnya. Cepat tanggap sekali. Curiga punya indra keenam.

"Bikinin minum gih," ujarnya saat melihatku.

"G-gak usah, kak," tolak Jeno.

"Santai aja kali. Lagian, masa tamu gak dikasih minum?" ujar laki-laki yang lebih tua tiga tahun dariku itu. Ia terlihat sangat rileks dan tidak canggung dengan laki-laki asing baginya kali ini. "Ke dapur sana, bikinin minum," sambungnya lagi dengan nada memerintahnya padaku.

Dear Diary✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang