Aku berjalan terburu-buru bersama Somi yang di sebelahku. Kami menyusuri koridor yang sudah sepi karena waktu istirahat telah berakhir beberapa menit yang lalu. Sesekali juga berlari-lari kecil. Aku yang panik karena terlambat masuk kelas sebenarnya, Somi santai saja. Ia hanya mengikutiku.
Aku langsung berhenti melangkah ketika tepat di depan pintu kelas. Napasku tersengal-sengal, jadi aku memutuskan untuk menarik napas dalam-dalam. Membuat napasku kembali teratur. Aku melirik Somi yang sama sekali tidak terengah sepertiku."Masuk Ra, cepetan," titah Somi.
Aku menggeleng cepat, "takut ah, gak berani."
Jelas nyaliku menciut. Aku takut dengan perempuan yang sedang mengajar di dalam. Wajahnya saja sudah menyeramkan sebenarnya. Jaemin memanggil guru sejarah itu dengan sebutan 'reptil' atau 'ular' entah atas dasar apa. Mungkin karena ganas dan berbisa.
Aku bercanda.
Memang bocah itu random sekali. Karena ulahnya itu, satu kelas memanggilnya dengan sebutan yang sama. Bahkan anak dari kelas lain juga menirunya.
Jangan ngelantur, pikirkan saja nasibmu sekarang, Nara.
"Payah lo, masa takut?" gerutu Somi sambil mendekatkan dirinya dengan pintu kayu tersebut.
"Yang bikin kita telat masuk kelas kan lo. Lagian ngaca di toilet aja lama banget sih," omelku.
"Gue kan harus memastikan kalo tetep cantik, Ra. Siapa tau ketemu Guanlin di jalan terus dia nyesel mutusin gue," jawabnya ngaco.
"Terserah deh."
Somi mengetuknya beberapa kali. Tangan gadis itu meraih pegangan pintu kemudian mulai menariknya pelahan. Sudah jelas, setiap pasang mata dari seisi kelas menatap kami berdua.
"Maaf Bu, kita telat masuk," ujarnya sambil berjalan perlahan memasuki kelas. Aku membuntutinya saja.
"Langsung duduk saja," ujar wanita itu dengan sedikit ketus.
Kami menurutinya, kami langsung bejalan menuju kursi kami masing-masing. Kemudian aku duduk perlahan sehingga tidak menimbulkan suara yang dapat mengganggu wanita yang sedang mengajar itu. Aku takut mengganggunya tentu saja.
Aku mulai memasang telinga, mendengarkan setiap penjelasannya secara saksama. Aku juga menulis beberapa poin pentingnya di buku tulisku. Aku sangat lemah dalam pelajaran sejarah, kepalaku tidak memiliki cukup ruang untuk mengingat semuanya.
"Jaemin, penghapus dong," kataku berbisik pada manusia yang duduk di belakangku tanpa menoleh.
"Ambil aja Ra," jawabnya tanpa minat.
Aku menoleh ke belakang kemudian meraih karet penghapus milikku yang Jaemin pinjam dariku sejak sebelum istirahat.
Laki-laki itu sedang menunduk, menatap ponselnya dalam posisi landscape. Pasti sedang bermain game. Aku melirik ponselnya sekilas. Aku pikir ia main PUBG seperti biasanya. Ternyata dia malah main game cacing. Kalian tahu tidak game itu? Yang cacingnya makan-makan burger.
"Ra, jam dindingnya mati, ya?"
"Hm?" ucapku sambil menoleh ke Somi.
"Jam dinding," ulang Somi lagi.
Aku memutar pandanganku, melihat benda berbentuk lingkaran dengan angka-angka yang tertera juga tiga buah jarum yang berhenti berputar.
"Iya, kayaknya."
"Sekarang jam berapa sih Ra?"
"Euhm, jam...." Aku melirik ke tangan kiriku. Mataku terbelangak saat menyadari sesuatu yang hilang dariku. "Jam gue kok gak ada?" tanyaku pada Somi, panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Diary✔
Fanfiction[Complete] "Kamu itu cuma kasian. Mana mungkin kamu bisa cinta sama orang gila, Jeno?" ©Scarletarius, 2020