Kini semuanya sudah terlanjur, aku sudah duduk dikursi penumpang. Aku bingung harus melakukan apa. Apa yang harus aku lakukan agar tidak terjadi sesuatu yang buruk nanti? Masa iya aku tiba-tiba bilang kalau Kak Doyoung tidak ada di rumah? Atau, memintanya untuk putar balik? Itu terlalu tidak masuk akal.
"Kenapa sih? Kok diem aja?"
Aku menoleh, "ng-nggak kok, gak ada apa-apa."
"Serius? Lo kayak lagi khawatir gitu, mikirin apa sih?"
"Emang iya?" tanyaku bingung. Ia hanya mengangguk cepat. "Gak kok, aku gak mikirin apa-apa, kak."
"Kalo ada apa-apa bilang, ya?"
"Iya, kak."
Pada akhirnya, kami sama-sama diam. Hening dalam kesibukan masing-masing. Kak Lucas tidak banyak bertanya, untung saja. Sepertinya ia juga percaya-percaya saja dengan kalimatku. Semoga iya.
Aku diam disepanjang perjalanan. Hanya menatap kosong jalan sambil memainkan kuku-kuku jari tanganku karena cemas. Gigiku bergemelutuk. Apa firasat burukku ada kaitannya dengan pesan dari Mark barusan?
Sampai akhirnya, kendaraan beroda empat yang kami tumpangi ini berhenti tepat di depan rumahku. Aku tidak tahu harus berbuat apa selain berdoa agar tidak ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi nantinya. Juga, berharap kalau Mark tadi tidak serius.
"Nara," panggilnya.
Gerakan tanganku yang hendak melepas safety belt terpaksa terhenti sejenak. Aku menoleh ke arah laki-laki di sebelahku itu. Ia menatap lurus ke depan selama beberapa detik sebelum akhirnya menoleh, menatapku juga. Air mukanya terlalu sulit untuk diterka.
"Iya?" tanyaku pelan.
"Nanti pas di dalem, lo masuk kamar aja, ya? Jangan keluar-keluar," titahnya.
"Kenapa emangnya?"
"Ada hal penting yang mau gue omongin sama Doyoung, lo gak boleh tau."
"Ng-ngomong a-pa?" tanyaku setengah gugup.
"Rahasia, jangan kepo deh," kelakarnya. Aku tidak bisa tertawa renyah seperti si pembuat kelakar. "Udah, ah, ayo turun!" lanjutnya lagi, memerintah.
Laki-laki itu langsung mencopot safety belt yang melilit tubuhnya kemudian keluar dari mobil mendahuluiku. Aku juga buru-buru melakukan hal yang sama. Aku keluar dari mobil kemudian berlari kecil untuk menghampiri laki-laki tinggi itu.
Namun, langkah kakiku melambat saat menyadari ada sebuah motor yang terparkir di halaman rumahku. Aku memperhatikannya lamat-lamat dari beberapa meter, tempat aku berdiri sekarang.
Rasanya aku ingin menyeret Kak Lucas untuk pergi dari rumahku sekarang juga. Aku cemas saat ini, sangat. Pesan terakhir dari Mark membuat kepalaku tidak bisa berpikir jernih. Aku dilanda ketakutan-ketakutan.
Aku tidak bisa membayangkan kalau sampai benar-benar terjadi keributan di dalam. Aku harus bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan? Apa lebih baik-
"Heh, cepet! Ngapain malah ngeliatin motor Taeyong?"
Kalimatnya, membuyarkan lamunanku. Kak Lucas sepertinya sudah mengenali dan sangat hafal kalau motor ini milik Kak Taeyong.
"A-ah, i-iya kak."
Aku langsung berjalan menghampirinya yang sedang berdiri di depan pintu sambil menatapku bingung. Aku melangkah cepat, secepat degup jantungku. Aku masih dalam ketakutan yang sama seperti sebelumnya, belum berkurang sedikitpun.
Aku meraih pegangan pintu, menghela napas samar, kemudian menariknya hingga pintu utama rumahku terbuka. Kak Lucas membiarkanku untuk berjalan lebih dulu darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Diary✔
Фанфик[Complete] "Kamu itu cuma kasian. Mana mungkin kamu bisa cinta sama orang gila, Jeno?" ©Scarletarius, 2020