29 • cause of the problem

184 43 3
                                    

Aku berjalan menyusuri lorong menuju kelas. Melewati orang-orang yang berlalu lalang ataupun sekedar mengobrol ditepi koridor. Semua orang tersenyum. Apa hanya aku yang suasana hatinya sedang buruk saat ini di sini?

Harusnya bel masuk sudah berbunyi, tapi tidak tahu kenapa murid-murid yang lain masih saja berada diluar kelas. Aku datang tepat beberapa detik saat gerbang sekolah hendak ditutup. Untung saja masih diperbolehkan masuk.

Tepat beberapa saat setelahnya, bel berbunyi. Aku melirik jam tanganku, bel masuk telat berbunyi, dua menit. Dan aku masih berjalan menuju kelas dengan tas berat yang masih aku gendong. Perlahan, suasananya mulai sepi.

Tidak tahu kenapa, saat Jeno menyuruhku untuk tetap bersekolah kemarin, aku langsung menurut. Padahal, aku berniat untuk menyendiri dulu selama beberapa saat hingga perasaanku membaik. Aku butuh ketenangan, tapi tidak enak hati untuk menentang perkataan laki-laki itu.

Apalagi, ia benar-benar datang tadi pagi. Ya, menepati janjinya untuk mengantarku ke sekolah. Menggunakan bus.

Dia datang pagi-pagi sekali. Aku tidak tahu sepagi apa ia bangun tidur untuk datang ke rumahku. Aku tidak tahu sejauh apa jarak yang ia tempuh demi menepati janjinya untuk mengantarku ke sekolah. Bahkan, aku tidak tahu dia tidur dimana semalam.

Dia serius diusir dari rumah?

Selama perjalanan tadi, ia terus mengajakku mengobrol. Tanpa membiarkan senyum diwajahnya luntur. Ia terlihat sangat baik-baik saja, padahal aku tahu ia sedang ada pada titik rapuh. Ia terus menunjukan sikap bahagia.

Ternyata Jeno jauh lebih jago untuk bersikap baik-baik saja ketimbang aku. Ia lebih ahli untuk menyembunyikan keadaannya yang kacau. Ia terlalu pandai berpura-pura.

"Lo juga lagi ada masalah kan kemarin? Gak apa-apa kok, emang bukan gue yang harusnya lo pikirin kemarin. Lo gak salah."

Ia yang mengatakan itu, tapi ia juga yang masih sempat-sempatnya mengkhawatirkanku. Ia bahkan rela datang menghampiriku. Ia mengesampingkan semua keterpurukannya untuk menemuiku. Padahal, harusnya ia meluapkan semuanya padaku.

Aku hanya jadi beban ya?

Aku tidak membantu untuk meringankan masalahnya sama sekali. Malah membuatnya semakin repot.

Aku salah. Aku merasa jahat. Aku egois. Aku membiarkannya menunggu kedatanganku. Terus menunggu sebuah harapan yang aku buat, namun ternyata semu.

Aku terlalu jahat padanya, tapi ia terlalu baik padaku.

"Ekhm! Ada yang abis dianterin nih sekolahnya, padahal yang nganter lagi dilarang sekolah."

Aku langsung menoleh dengan cepat, mencari sumber suara tersebut. Itu dari mulut laki-laki yang entah sejak kapan sudah berjalan beriringan denganku. Aku tidak menyadari kedatangannya, sejak kapan ia disini?

"Jaemin?"

"Biasa aja kali mukanya, gak usah tegang gitu," guraunya sambil tertawa kecil. "Kenapa lo gak masuk kemarin? Sakit?" lanjutnya lagi, bertanya dengan santai.

"Euhm... gitu pokoknya."

"Gitu gimana?"

"Ya, gitu."

"Apa sih, anjir, gak jelas lo." Ia menyikutku pelan kemudian terkekeh samar.

Bisa tidak, selamanya Jaemin seperti ini saja? Berbicara santai, tidak perlu marah-marah, tidak iseng lagi, candaannya masih masuk akal.

Aku lelah selama ini mendengarnya mengomel tanpa alasan yang jelas setiap hari. Kalau seperti ini kan aku tidak merasa keberatan kalau harus berdekatkan dengannya, telingaku tidak panas karena tidak mendengarnya mengerutu. Tidak perlu tersulut emosi karena emosinya yang terbakar lebih dulu. Tidak perlu marah karena ia tidak menjahiliku.

Dear Diary✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang