31 • healing process

213 42 33
                                    

"Jun, kita ke kelas aja deh. Gue gak apa-apa kok," ujarku membujuk.

"Enggak, di sini aja."

Renjun terus memaksaku untuk berada di dalam UKS. Alhasil, di sinilah kami sekarang. Dia juga memerintahku untuk berbaring di atas bangsal. Dia sendiri, duduk di tepi sebuah bangsal yang ada di sebelah bangsal yang kutempati. Aku tidak berbaring, hanya duduk di atasnya.

Kalau kalian khawatir dengan keadaan Renjun, tenang, dia baik-baik saja kok. Tidak terluka atau bahkan lecet sedikitpun. Wajahnya masih semulus saat ia datang untuk menolongku dari amukan Guanlin.

Sebenarnya, tadi hampir saja Guanlin membalas Renjun. Tangan laki-laki itu sudah mengepal dan terangkat, siap melayangkan tinjuan. Namun, dengan cepat aku langsung menarik lengan Guanlin.

Aku meminta maaf atas segala perkataan, tindakan, atau apapun yang aku lakukan padanya yang mungkin membuatnya tersinggung. Aku juga tidak akan memaksanya untuk meminta maaf pada Jeno lagi. Aku bilang padanya tidak akan ikut campur urusan mereka lagi. Aku meminta maaf karena membuang waktunya secara sia-sia. Aku mengatakan padanya kalau aku benar-benar menyesal.

Guanlin sempat terdiam. Kepalan tangannya mulai mengendur. Tapi, ia tidak mengatakan apapun. Hanya menatapku dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan. Bahkan ia tidak menjawab permintaan maafku. Jadi aku tidak tahu dia memaafkanku atau tidak.

Dan, disaat itulah aku langsung menarik lengan Renjun. Membawanya kabur dari tempat yang suasananya semakin mencekam itu. Tapi, pada akhirnya justru dia yang menarikku hingga di UKS.

Aku memandangi Renjun yang masih sibuk dengan layar ponselnya. Raut wajahnya agak dingin. Aku tidak tahu apa yang sedang ia lakukan dengan ponselnya. Tapi, hal yang paling aku takutkan adalah dia bilang pada orang lain -entahlah, siapapun itu- kalau aku ditampar oleh Guanlin.

Aku tidak mau ada yang tahu soal itu.

Laki-laki itu menurunkan ponselnya kemudian melihat ke arahku, "gue udah suruh Jaemin ke sini."

"J-jaemin? Ih, jangan!"

"Udah terlanjur. Emang kenapa sih? Biar lo ada yang jagain, gue pengen balik ke kelas."

"Ya udah, kita sama-sama ke kelas aja kalo gitu," usulku

"Enggak, jangan. Lo mau balik ke kelas dengan keadaan kayak gini?"

"G-gini... gimana?"

"Lo pucet banget. Tuh, kaki lo aja masih gemeteran," ujarnya sambil menunjuk kakiku dengan dagu.

Pandanganku teralih, aku memandangi kakiku sendiri. Benar, masih gemetar hingga sekarang.

Kalau ditanya, apa yang aku rasakan sekarang? Jawabannya adalah takut. Bayang-bayang saat tangan laki-laki itu melayang itu masih terngiang. Bahkan suara tamparannya masih berdengung ditelingaku.

Panas dan perih. Dua rasa itu masih terus menjalar pipiku. Kulit kepalaku juga terasa perih, namun sudah berangsur membaik.

"Gue gak mau ada orang yang tau soal kejadian tadi, Jun," ujarku lirih.

"Iya, kalo gitu gue gak bakal bilang siapa-siapa."

"T-trus... J-jaemin? Tadi lo..."

"Enggak, gue gak bilang soal itu. Bisa ancur nih gedung kalo dia tau lo ditampar sama anak pemilik yayasan sekolah ini," guraunya.

Syukurlah...

Aku hanya menanggapi gurauannya dengan tertawa pelan. Renjun malah mendengus geli kemudian tersenyum simpul. Aku tidak tahu kalau senyuman Renjun bisa semanis ini.

Dear Diary✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang