Selama perjalanan menuju sekolah, aku hanya menatap lurus jalan dengan pandangan kosong. Ada hal yang terus menyita sebagian besar ruang di kepalaku selama beberapa hari terakhir. Aku masih bertanya-tanya kenapa Jeno menjauh dariku. Ini sudah terhitung lima hari, tapi aku masih saja memikirkannya. Kepalaku tidak mau mengeyahkan pertanyaan itu.
Aku rasa Kak Doyoung menyadari perubahan sikapku akhir-akhir ini. Memang benar, aku jadi semakin sering melamun, berada di dalam kamar sendirian karena tidak mau diganggu siapapun, lebih sedikit bicara daripada biasanya. Saudara kandungku itu berkali-kali bertanya, 'Ada apa? Kamu baik-baik aja? Apa yang kamu pikirin?' tapi aku hanya memberi respon dengan menggeleng dan tersenyum tipis.
Awalnya aku menganggap argumen kakakku mengenai 'aku menyukai Jeno' itu sebagai lelucon. Hanya bercanda, dia tidak serius sama sekali. Aku selalu menganggap enteng akan hal itu. Aku tidak benar-benar menyukai Jeno. Kak Doyoung salah mengartikannya.
Tapi, rasa tidak nyaman saat tidak berbicara dengannya selama hampir lima hari, rindu akan suara tawanya, selalu teringat senyuman manis yang menghiasi wajahnya saat kami mengobrol. Aku rasa, tidak bisa kupungkiri, sepertinya aku memang menyukai laki-laki itu. Aku tidak bisa berbohong pada diriku sendiri, lagi.
Benar, kami memang baru saling mengenal belum lama ini. Baru dua bulan, itu terhitung sebagai waktu yang cukup singkat bukan? Tapi, sudah cukup banyak hal yang aku lalui bersama laki-laki itu. Hal yang tidak pernah aku lakukan dengan orang lain.
Hampir setiap hari ia mengantarku pulang. Sesekali mampir ke kafe milik Kak Jaehyun, tempat aku bekerja. Menemaniku makan malam selama aku sendirian di rumah. Selalu mengobrol diwaktu senggang. Saling bertukar pesan. Telfonan sepanjang malam selagi kami sama-sama tidak bisa tertidur.
Mungkin ini terkesan berlebihan, tapi berkat kehadirannya, semua hari-hariku yang sepi, hari-hariku yang kosong, rasa kesepian, rasa kesendirian, semua itu perlahan menghilang.
Tiap kali aku memikirkan ini, aku menyadari satu hal. Ternyata Jeno seberpengaruh itu dalam hidupku.
"Nanti Kakak gak bisa jemput kamu, ada urusan."
Suara yang terdengar tiba-tiba diantara hening itu berhasil membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke samping, melihat laki-laki yang duduk di kursi kemudi. Kak Doyoung hanya melirikku sekilas kemudian kembali menatap lurus ke jalan.
"Ya udah," jawabku singkat.
"Kamu pulang sama Jaehyun, ya? Nanti Kakak yang bilang," lanjut laki-laki itu.
"Jangan suruh Kak Jaehyun terus, Kak. Ngerepotin pasti," tolakku.
"Gak apa-apa," ujarnya keukeuh. Dia tidak merasa ada yang salah dari kalimatnya.
"Dia pasti juga punya urusan lain. Kak Doyoung jangan suruh dia ter—"
"Dia sendiri yang bilang, kalo Kakak gak bisa jemput kamu, dia yang bakal jemput," ujarnya, memotong kalimatku.
Aku menghela napas kasar, "aku bisa pulang sendiri kok. Kalo enggak, nanti aku minta anterin sama Jaemin aja. Dia juga gak bakal keberatan."
"Jaehyun juga gak bakal keberatan, Ra," ujarnya tak mau kalah. Laki-laki ini benar-benar keras kepala, sampai jengkel aku rasanya. "Kakak gak suka kalo kamu pulang sama orang yang gak Kakak kenal," sambungnya lagi.
Tapi, tempo hari Kak Doyoung menyuruh Jeno untuk mengantarku pulang. Memangnya Kak Doyoung sudah mengenalnya?
"Terserah," ujarku pada akhirnya.
Aku memutar bola mataku, mengalihkan pandanganku dari laki-laki keras kepala ini. Suasana hatiku sedang buruk dan dia berhasil membuatnya semakin jatuh, terjun bebas. Mood-ku benar-benar berantakan pagi ini. Ini berkat laki-laki menyebalkan yang kebetulan berstatus sebagai kakakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Diary✔
Fanfic[Complete] "Kamu itu cuma kasian. Mana mungkin kamu bisa cinta sama orang gila, Jeno?" ©Scarletarius, 2020