06 • his problem

474 75 7
                                    

Revisi : 23 Juni 2020

° ♥ °

Aku menghela napas gusar. Aku merasa tidak terlalu tenang. Ada satu hal yang mengganggu pikiranku sejak tadi pagi. Itu soal Jeno. Tepat setelah limabelas menit razia sekolah dilaksanakan, nama laki-laki itu disebut melalui pengeras suara, ia dipanggil ke ruang wakil kepala sekolah.

Aku tahu ini bukan urusanku, tapi entah kenapa aku ikut gugup. Batinku berbisik, mengatakan kalau yang terjadi pada laki-laki itu bukanlah hal yang baik.

Aku melirik jarum-jarum arlojiku yang berputar pada arah yang sama. Beberapa menit lagi bel pulang akan berbunyi. Aku sedikit mendongak, menyipitkan mata untuk memfokuskan pandanganku pada meja guru. Aku memandangi pria dewasa yang tengah menopang dagu dengan sebelah tangannya sambil memejamkan matanya itu lekat-lekat.

Setelah tahu kalau guru geografiku itu tengah pulas-pulasnya tertidur, aku langsung memutar tubuhku, menoleh pada Jaemin yang sibuk bermain game online dengan kedua telinganya yang sengaja disumpal oleh airpods.

"Sstt... Jaemin!" panggilku berbisik.

Tentu saja dia tidak memberi respon apapun. Mana mungkin ia bisa mendengarku kalau aku saja bisa mendengar suara yang keluar dari airpods-nya meski samar-samar, tanda seberapa kerasnya volume yang ia pasang pada alat yang menempel pada telinganya itu.

Tukk.. tukk..

"Jaemin..!" bisikku lagi sambil mengetuk mejanya dengan jari.

Aku menghela napas pendek karena laki-laki itu masih tidak menggubris. Karena masih belum menyerah, aku sedikit memiringkan kepalaku lalu melambai-lambaikan tangan kananku tepat di depan wajahnya.

"Hello Jaemin, can you hear me?" ujarku pelan, dia masih belum bereaksi. "Tolong respon sebelum lo gue tabok," sambungku lagi, jengkel.

Aku menghela napas panjang karena hasilnya sia-sia. Jaemin tidak menunjukan gelagat kalau ia tahu jika aku tengah berbicara padanya. Ia masih fokus menatap layar ponselnya tanpa bersuara.

Aku mendecak dan baru saja hendak memutar tubuhku lagi untuk berbalik, tapi didetik yang sama Jaemin melirik padaku sekilas. Hanya satu detik kemudian kembali menatap layar ponselnya.

"Ngapa lu liat-liat gua?" tanyanya dengan nada datar.

Aku menghela napas lega, "akhirnya lo ngomong juga. Gue berasa ngomong sama tembok soalny—"

"Hah, apaan?!" ujarnya agak keras.

"Sssth, jangan keras-keras...!" titahku berbisik sembari menempelkan jari telunjuk pada bibirku.

"Lu kalo ngomong jangan bisik-bisik napa! Kagak kedengeran anj—"

"Ssstth!!" desisku lalu menempelkan telunjuk pada bibirnya.

Kalimatnya langsung terputus. Sontak, laki-laki itu langsung mematung lalu menatapku tanpa berkata apapun. Ia hanya memerjapkan kelopak matanya beberapa kali seraya menatapku bingung.

Beberapa detik setelahnya, tanganku beralih dari bibir ke telinga laki-laki itu. Aku melepas salah satu airpods yang menyumpal telinga kirinya lalu meletakkannya di atas meja.

"Kalo ngomong jangan sambil pake airpods, teriak-teriak kan jadinya," ujarku masih berbisik.

"Udah tau kalo gue lagi main game, lo ngajak ngomong sambil bisik-bisik. Gue mana denger," ujarnya, tidak dengan volume keras seperti sebelumnya.

Itu dia Jaemin. Manusia keras kepala yang tidak pernah mau disalahkan.

Pokoknya, orang lain yang salah, dia si maha benar.

Dear Diary✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang