Aku baru saja mendaratkan bokongku pada sofa. Di hadapanku saat ini masih sosok yang sama, Om Donghae. Ia menatapku selama beberapa detik. Sorot matanya seolah ingin mengetahui banyak hal tentang aku. Aku hanya meremat ujung rok sembari memasang senyum kikuk.
"Jadi, nama kamu Nara?" tanyanya.
"I-iya om," jawabku gugup.
"Jangan panggil om, panggil Papa aja, kan calon menantu," guraunya sembari tersenyum simpul.
Aku menelan ludah. Kedua bola mataku melebar. Sama sekali tidak bisa tertawa karena bahan candaannya, aku terlalu terkejut. Yang aku lakukan hanya memerjapkan kelopak mataku beberap kali.
Pria itu mendengus geli, "dari tadi kamu keliatan takut, memangnya wajah saya menakutkan ya?"
Aku mengangguk ragu sembari terkekeh samar, "s-sedikit."
"Saya cuma galak ke anak sendiri kok. Kalau ke anak orang lain enggak," ujarnya sembari tertawa renyah.
Mendengar kalimatnya membuatku tersenyum simpul sembari sedikit memaksakan diri untuk ikut tertawa renyah. Meskipun Om— eh, m-maksudku Papa Donghae. Meskipun sekarang ia bersikap lebih hangat, aku tetap saja merasa gugup dan canggung.
Selain karena aku selalu gugup dan canggung jika berbicara dengan orang baru, bayang-bayang saat pria dewasa itu berbicara dingin pada anak tunggalnya juga saat membentak putranya di sekolah itu masih terngiang dengan sangat jelas.
"Saya sudah tahu cukup banyak tentang kamu," ujarnya tiba-tiba.
Aku menyerit, "dari Jeno?"
Pria itu tertawa renyah, "mana mungkin Jeno cerita soal perempuan sama saya."
Benar, itu cukup tidak mungkin, apalagi saat mengetahui seperti apa interaksi mereka.
Sama seperti aku yang tidak mungkin bercerita soal laki-laki ke Kak Doyoung. Ya, walaupun pada akhirnya aku tetap menceritakan soal Jeno padanya karena aku sudah terlalu bingung.
"Dari istri saya. Jeno suka cerita ke mama-nya, lalu mama-nya cerita ke saya," jawabnya.
"O-oh gitu..."
"Kalau semisal Jeno bikin kamu nangis, kamu harus langsung bilang sama saya, ya? Biar saya yang kasih dia pelajaran."
Aku mengangguk sembari tersenyum simpul, "iya om— eh, m-maksudnya Pa."
Aku menyanggupi meskipun tidak yakin jika suatu saat nanti Jeno akan membuatku menangis. Jeno bukan orang jahat, dia sangat baik padaku.
Meskipun aku tahu hati manusia itu selalu berubah-ubah, tapi aku tetap yakin jika Jeno tidak akan pernah menyakitiku. Tidak akan pernah membuatku sedih, apalagi sampai menangis.
Jadi, Papa Donghae tenang saja ya? Anak semata wayangmu bukan laki-laki seperti itu.
"Kamu sama Jeno satu kelas?" tanya pria itu, mengganti topik obrolan kami.
Aku menggeleng kaku, "eng... enggak, kita beda jurusan juga."
"Oh, kamu IPS?" tanya pria itu lagi, aku hanya mengangguk. "Jaemin juga IPS, kamu kenal?" sambungnya.
"Kenal P-pa," ujarku sembari tersenyum kikuk. "Aku sama Jaemin sekelas," lanjutku lagi.
"Oh, kalian sekelas? Gimana Jaemin kalau di sekolah?"
Dia usil, suka cengar-cengir, banyak bicara, suka marah-marah, suka membuat kehebohan, hobi nyalin tugas milik orang lain, sering bolos... ah, terlalu banyak jika disebutkan.
Tidak mungkin kan jika aku menjabarkannya satu per satu? Lagipula, masa iya aku menceritakan semua keburukan laki-laki itu pada ayah Jeno?
Tapi, kenapa Papa Donghae malah bertanya soal Jaemin ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Diary✔
Fiksi Penggemar[Complete] "Kamu itu cuma kasian. Mana mungkin kamu bisa cinta sama orang gila, Jeno?" ©Scarletarius, 2020