36 • would you?

172 37 18
                                    

Sudah lebih dari setengah jam aku berada di rumah. Masih sama seperti biasa, Jeno mampir dulu setelah mengantarku pulang. Tapi, tingkahnya yang tidak biasa. Dia terus mengatup mulutnya rapat, sama sekali belum bersuara. Kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya itu...

"Ayo pulang."

Setelahnya dia tidak berbicara apapun padaku. Bahkan, laki-laki itu terus menghindari kontak mata denganku. Ia terus membuang pandangannya. Raut wajahnya juga berubah jadi masam. Aku tidak tahu pasti, tapi aku berpikir kalau...

Jeno marah ya?

Padaku atau pada Guanlin?

Atau, dia punya alasan lain?

Meskipun aku tipikal orang yang gemar suasana sunyi dan tenang, tapi aku tidak betah kalau harus berlama-lama seperti ini. Ini bukan suasana sunyi yang bisa membuatku tenang. Justru hening yang terasa dingin, hening yang menciptakan rasa canggung.

Sejak dia berdiam diri seperti ini, aku juga ikut mengunci mulut. Aku mau berbicara lebih dulu, tapi ragu. Aku mau membuka obrolan lebih dulu, tapi suasananya terasa tidak tepat. Aku mau bertanya ada apa dengannya, tapi takut.

Tapi, kalau aku juga diam seperti ini, mau sampai kapan? Mau sampai kapan hanya duduk bersebelahan dan membiarkan hanya suara televisi yang memenuhi ruangan?

"Jeno..." panggilku pada akhirnya. Hening, tidak terdengar sahutan. Ia masih menatap lurus pada layar televisi. "Jen, kenapa sih?" sambungku lagi.

Jeno malah mendecak kemudian menghela napas pendek. Tampangnya masih datar dan dingin. Laki-laki yang sebelumnya terlihat seperti patung itu kemudian bergerak. Ia mengambil remote televisi kemudian menekan tombol-tombolnya.

"Jen, ini udah lebih dari setengah jam lho. Mau sampe kapan lo diem kayak gini?" tanyaku, tapi tidak dijawab olehnya. Ia masih membisu sampai detik ini. "Gue... ada salah ya? Kalo emang iya, gue minta maaf deh," sambungku lagi, meskipun aku tidak tahu dimana letak kesalahanku.

Ia menoleh, hanya melirikku dalam hitungan detik, tatapannya sedikit melunak. Tapi, setelahnya ia kembali menatap layar televisi sembari terus mengganti salurannya. Ia terlihat tak sedikitpun acuh pada kalimatku.

"Gue gak masalah kalo emang lo gak mau ngomong sama gue, tapi... tapi seenggaknya lo bilang. Kasih tau gue, ada apa? Salah gue dimana? Kalo lo diem aja kayak gini, gue gak bakal ngerti, Jen."

Kali ini laki-laki yang hampir berhasil membuatku jengah itu memberi respon. Ia mematikan tayangan televisi kemudian meletakan remote-nya kembali di atas meja. Ia terlihat menarik napas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Setelah beberapa detik, ia memutar tubuhnya, menatapku yang duduk tepat di sebelahnya ini lekat-lekat.

Akhirnya, setelah menghindari kontak mata denganku, ia menatapku lamat-lamat seperti ini. Akhirnya, setelah wajahnya terus berekpresi kaku, air mukanya berubah jadi lebih lunak. Akhirnya, setelah lama-lama bertingkah dingin, ia terlihat jadi sedikit lebih berekspresi.

"Gue gak suka, Ra." 

Setelah membisu sekian lama, akhirnya ia buka suara walapun terdengar dingin. Namun, tersirat dari sorot matanya jika ia menahan kesal dan merasa kecewa. Meskipun aku tidak yakin, tapi itu tampak sangat jelas.

Itu membuatku memaksa untuk menahan diri agar tidak bersuara lebih dulu. Meskipun aku penasaran dan ingin bertanya, tapi sepertinya akan lebih baik jika membiarkan ia yang menjelaskan dengan sendirinya.

"Setelah Jaemin, sekarang Guanlin  ya?" gumamnya sembari tersenyum kecut. "Gue tau jadi egois itu salah, tapi... apa gue harus terus-terusan ngalah buat orang lain?" lanjutnya lagi.

Dear Diary✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang