48. Waktunya Sebentar Lagi

1.2K 106 23
                                    

Jangan pernah ragukan rasa yang ada..
__________________________________________________

Jari-jari kurusnya menyentuh dinding dingin berwarna putih itu. Rasa dingin mulai menyesapi jari miliknya. Tapi apa pedulinya? Dia tak akan mati dengan itu. Apa tega, takdir merenggutnya hanya karena jari mungilnya kedinginan? Tidak kan.

"Ngapain disitu? Masuk kamar gih, istirahat." Suruh seseorang yang baru muncul dari pintu utama.

Dirinya tersenyum cerah. Menatap pria yang sedikit kerepotan membawa dua tas besar di tangannya. Berlari kecil, dia menghampiri lelaki itu. Memeluknya erat hingga tas yang dibawa pria itu terjatuh.

"Aduh, peluknya nanti aja dong. Kakak mau bawa tas kamu dulu ke kamar," ujar Pria itu seraya berusaha melepaskan pelukan erat adiknya.

"Kakak bau! Tapi aku suka." Rizki, dia terkekeh mendengar celotehan Putri.

"Apasih kamu? Tiga bulan di Rumah sakit kok jadi pinter ngegombal." Dahi Putri berkerut, lalu melepaskan pelukan pada kakak tercintanya.

"Tapi aku ngerasanya satu bulan, Kak. Itu pun buat aku hampir stress."

"Gimana sama kakak? Kakak liat kamu tidur selama dua bulan, ditambah kamu harus therapi 1 bulan. Apa kabarnya hati kakak?"

Bibir Putri mengatup rapat. Dirinya merasa benar-benar bersalah pada kakaknya itu. Membuat masa muda kakaknya harus terbebani dengan dirinya yang sudah di incar maut. Putri bahkan benci pada dirinya sendiri. Benci karena dia selalu menyusahkan orang. Bahkan dia sudah mengorbankan beberapa orang yang dia sayang.

"Udahlah. Ayo ke kamar. Kamu harus istirahat." Rizki meninggalkan Putri sendiri. Membiarkan adiknya itu termenung meratapi takdir.

****

"Waktu Putri tinggal sebentar lagi." Suara lirih itu membuat sepasang suami istri tertegun. Perasaan yang tak karuan kembali menaungi hati mereka.

Van, kamu 'kan dokter. Tolong dong usahakan buat Putri. Aku mohon. Aku gak bisa kehilangan dia." Pinta Ramzi dengan nada tinggi. Dirinya terasa sudah sangat putus asa dengan semua yang menimpa keluarganya. Terlebih putri tersayangnya. Bisakah takdir lebih adil kepada keluarganya? Dia hanya ingin hidup bahagia dengan melihat senyum orang-orang yang dia sayangi. Dia sama sekali tak ingin merasa kehilangan. Anggaplah dia egois. Tapi sungguh, dia sangat tersiksa melihat putrinya itu menjadi ringkih. Selalu meringis kesakitan.

"Apa yang bisa dilakukan pada penderita stadium akhir, Zi? Tidak ada!" Mata Ramzi membulat. Amarahnya tiba-tiba tertarik keluar saat mendengar suara tinggi kakaknya itu.

"Apa kamu bilang?" Utti menoleh kaget pada suaminya. Dia segera mengusap punggung Ramzi agar lelakinya itu tak terpancing emosi.

"Gak ada yang bisa kita lakukan selain pasrah, Ramzi!" teriak Revan yang juga terpancing emosi. Apa kalian pikir dia tak sedih? Yang benar saja. Dia merasa seluruh bagian tubuhnya terbakar saat menerima kenyataan ini. Bayang-bayang saat dulu dia mengajari Putri segala hal selalu berputar di dalam pikirannya. Jangan lagi tanya perasaannya. Jantungnya terasa seakan ingin remuk setiap melihat Putri tak berdaya.

"Aku mohon, Van." Revan membuang wajahnya. Menghindari tatapan sang adik yang begitu menyiksa batin. Pria paruh baya itu menggeleng pelan, lalu melangkah meninggalkan ruangannya.

Disaat bersamaan saat pintu tertutup, tangis Utti pecah. Membuat sang suami merengkuhnya erat. Berusaha menguatkan istrinya walaupun dirinya sendiri rapuh.

****

Seorang pria dengan topi hitamnya membuka sebuah ruangan yang sunyi dan tak ada suara sama sekali. Dia memandang seorang wanita yang duduk di atas ranjang dengan tatapan kosong. Tangannya mengepal, lalu menutup pintu dengan amat pelan karena tak ingin mengganggu sang empunya ruangan.

ARTI CINTA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang