S E M B I L A N B E L A S

700 26 0
                                    

"Jadi?" Semua atensi mengarah pada Angga. "Lo masih utang cerita, btw."

Alika mengangguk pelan dan memandang Anna, sementara oknum-oknum yang hari ini tidak sekolah hanya memandang heran gadis yang menjadi tersangka. Sore ini, setelah makan siang tadi, keenamnya berkumpul di lantai tiga rumah Cecilia. Si gadis pemilik rumah juga sudah mendingan saat dipaksa makan tadi.

Anna memandang temannya satu persatu lalu menghela nafas panjang.

"Kalian tau kan, kalo ibu gue masih hidup?" Mereka mengangguk, kecuali Alka. "Kemaren gue jumpa." Dan kaget adalah reaksi keenamnya.

Cecilia yang tadinya duduk bersandar disamping Anna langsung duduk tegak, "serius?! Dimana?!"

"Sekolah..."

"What?! Ngapain, anjir?" Angga membolakan matanya.

Sebuah tawa miris terdengar, "jemput anaknya."

"Jemput elu?" Tanya Yuta.

Anna menggeleng, "anak barunya mungkin." Anna tetap mempertahankan senyum mirisnya dengan mata berair, "dia.. dia udah keliatan lebih bahagia. Dan dia.. dia.."

Alika yang duduk disisi lain Anna menarik sahabatnya itu kedalam pelukannya. Dan selanjutnya isak tangis Anna adalah hal yang mengisi ruangan itu. Yang lain hanya menatap iba kearah gadis itu, tau hal macam apa yang dulu pernah gadis itu lewati. Dan ketika bercerita tentang masa lalunya, tangisnya adalah hal yang menjadi penutup cerita.

"Kenapa? Katanya dulu dia bahagia saat tau gue ada didalam rahimnya, katanya dulu dia bahagia saat gue lahir ke dunia. Tapi akhirnya.. akhirnya gue cuma buat dia menderita. Gue yang dia anggap bahagianya cuma bawa derita, sampai-sampai dia ninggalin gue." Anna mengangkat kepalanya, memandang Alika. "Apa kehadiran gue cuma bawa sial? Ayah pergi, terus kak Hivi yang keadaannya gak tau gimana, habis itu siapa lagi yang bakal pergi gara-gara gue?"

"Anna..." mata Cecilia ikut berkaca-kaca, merasa ikut tersaya mendengar tangisan sahabatnya. Ia lalu memaksakan dirinya untuk memeluk Anna.

"Kami gak akan pergi." Ucap Cecilia menenangkan.

Lain halnya dengan kelima temannya yang menatap iba Anna, Alika malah memandang Anna dengan tatapan tak bisa diartikan.

Lima belas menit kemudian, tangisan Anna berangsur hilang. Anna sendiri memaksa isakannya berhenti walau nyatanya sangat susah.

"Hey," Angga beranjak dari duduknya dan berpindah duduk dibawah Anna, "udah dong. Sekarang lo juga udah punya keluarga yang lebih baik kan? Lo juga udah punya kita," ucap pemuda itu sembari mengelus lutut Anna.

"Iya, kita gak bakal ninggalin lo kok," sambung Cecilia.

"Iya, Ann. Kalo dia bisa ngelupain lo, kenapa lo enggak? Bukannya nyuruh lo durhaka, kan dia yang mutusin tali duluan, bukan elo. Ya ikutin aja cara mainnya," ujar Yuta.

Anna masih menangis, tetapi juga memproses apa yang sahabat-sahabatnya katakan. Betul kata Yuta, bukan ia yang memutuskan hubungan ini, jadi wajar saja ia juga harus bersikap kalau hubungannya dan ibunya, benar-benar putus.

Namun di dalam hati, Anna masih bimbang. Bagaimanapun, itu ibunya, wanita yang pernah membesarkannya. Tidak, tidak, Anna tidak bersalah disini. Ia juga berusaha membuat ibunya bahagia, dengan tidak pernah muncul dihadapannya lagi, sehingga ibunya tak direpotkan olehnya lagi.

Hei, itu setara, bukan?

Anna bahkan mendapat nilai plus; ia ditinggal, dan berusaha menghindar, agar ibunya bahagia.

Setidaknya fikiran Anna berhenti sampai disitu karna sebuah tepukan ia rasakan di bahunya.

"Ann, kehilangan, ataupun ditinggalkan, bukan akhir dari sebuah kehidupan. Kalau aja hal-hal buruk itu gak lo jalanin, lo gak bakal pernah ketemu sama ayah dan bunda yang sayangnya kayak orang tua kandung ke elo, elo juga gak akan pernah ketemu kita, dan hidup serba kecukupan kayak gini. Intinya, semua hal buruk yang bakal lo jalalanin nantinya, itu adalah jalan terbaik buat masa depan lo yang jauh lebih indah." Tutur Alika lembut, tak lupa bibirnya memberikam senyuman tipis, agar sahabatnya itu mendapat kekuatan yang sedang berusaha ia bagikan.

My Cinderella Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang