Alika menatap datar kotak yang ada diatas kasurnya penuh dengan robekan baju.
Tanpa berfikir dua kali, ia sudah tau siapa pelakunya.
Helaan nafas panjang keluar dari sela bibirnya. Tak lama ponselnya bergetar, menerima panggilan masuk dengan tulisan 'papa' disana. Alika tanpa ragu mengangkatnya.
"Lika? Kamu siap-siap, ya. Kamu gak lupa kan malam ini?"
"Pa..."
"Ya, sayang?"
Sejak awal, Alika tidak pernah suka dengan segala macam acara yang ayahnya punya. Baik itu formal, maupun informal. Bahkan saat mamanya masih ada sekalipun. Namun, kali ini beda lagi. Ia terlalu banyak mengacuhkan papanya, sehingga mau tak mau Alika menurutinya, walau hanya kali ini.
"Lika bakalan dateng telat. Soalnya masih ada tugas kelompok. Lika lagi dirumah Cila."
Untuk itu Alika mencari sebuah alasan, untuk bisa menghadiri acara papanya. Alika tentu saja sudah dirumah sejak pulang sekolah. Ketika akan bersiap untuk pergi ke acara Bondan, ia mendapati dress-nya sudah tergunting menjadi banyak potongan kecil.
Dan dengan baju tak berbentuk seperti itu ia tak mungkin mengatakan hal yang sejujurnya kepada Bondan. Ia tak mau membuat papanya itu kembali kecewa, walau pun itu bukan sengaja ulahnya.
"Oh, kalau gitu papa bisa nunggu kamu sampai pulang kok. Papa udah nyampe depan rumah ini."
"Gak papa, pa. Nanti—"
"PAPA! Ayo!! Kami udah siap!"
Itu suara Mawar. Alika dapat melihat dari balkon kamarnya ibu dan dua saudara tirinya itu telah menyambut Bondan dengan dandanan rapi di beranda rumah.
Ibu tirinya mengamit lengan sang papa dan memberinya kecupan ringan di pipi.
"Sayang, Alika belum pulang ya?"
Suara papanya yang bertanya pada ibu tirinya terdengar jelas dari ponsel Alika.
"Belum, pa. Gak tau itu anak keluyuran gak jelas kemana." Mama tirinya menjawab acuh.
"Pa, nanti Lika nyusul aja," kata Alika yang akhirnya mengucap sebuah keputusan.
Papanya menghela nafas, "pastiin jam delapan kamu udah disana ya, sayang."
"Iya, pa."
Pip!
Telepon dimatikan secara sepihak. Dibawah sana, Bondan memasukkan kembali ponselnya kedalam jas yang ia pakai, kemudian memberi arahan kepada Vita, Bunga dan Mawar untuk masuk kedalam mobil. Tak lama, mobil sedan hitam itu keluar melewati pintu gerbang.
Alika masih disana. Berdiri di jendela memandangi kepergian keluarganya dengan tatapan datar andalannya, bahkan ponselnya masih bertengger di telinga kirinya.
Tatapannya mungkin terlihat datar, namun saat ditelisik lebih dalam, terdapat kesedihan, jauh didalamnya. Alika benar-benar sadar, betapa jauhnya ia kini dengan ayah kandungnya. Ada ataupun tidaknya mama tirinya, Vita. Ia akan tetap seperti ini.
Terdiam beberapa menit dengan posisi yang sama, Alika kemudian berbalik dan duduk di tepi ranjangnya. Menatap keatas, tepat dimana figura keluarga lengkapnya tergambar jelas.
Di dalam figura itu, terdapat sebuah keluarga kecil bahagia yang tengah mengadakan piknik dibawah cerahnya langit biru. Senyum dan canda tawa saat itu masih terekam jelas dan tersimpan apik diingatannya.
Namun tampaknya, kenangan indah itu tidak akan pernah terulang lagi.
Alika berdiri dari duduknya, dan berjalan kearah lemari. Ia menggeser lipatan bajunya dengan hati-hati, kemudian menggeser dinding lemari kesamping, menampakkan tempat rahasia disana. Alika mengambil sebuah kotak putih dan membawanya keatas kasur.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Cinderella
Novela JuvenilAlika, cewek dingin yang dijuluki ice cream oleh teman-temannya. Dingin, tapi manis. Menjadi dingin setelah sang ibunda wafat. Alika, cewek yang sukses membuat Alka, si pangeran cuek jatuh pada pesonanya. Bercerita tentang Alka yang berusaha masuk...