🐠 Dua Puluh Dua

1.6K 241 11
                                    

[Jangan lupa tinggalkan jejak ya, teman-teman. Vote n comment. Aku tahu kalau kalian juga tahu caranya menghargai.]




















Selasa, 16 Juli 2019









“Pyo, ngerujak yuk.”

Tak butuh panggilan atau bahkan teriakan tambahan, karena sedetik setelah Eunsang mengatakan tiga kata itu, si mungil Son langsung keluar dari kamarnya dengan cengiran lebarnya.

“Ayo,” sahutnya riang setelah itu, tidak peduli jika ponselnya masih menempel di telinga kanannya. Ia sedang bertelpon dengan seseorang.

Minhee yang kebetulan sudah keluar kamar juga dan sibuk membenarkan tatanan rambutnya di depan kaca jendela jadi mencibir kecil, “dih, giliran begini aja cepat. Diajakin nyari buah gak mau ya lo, anjir!”

Tapi Dongpyo tak peduli, ia kembali sibuk dengan orang di ujung telpon sana lalu masuk kembali ke kamar. Membuat Eunsang yang tengah sibuk mengupas jeruk jadi mengekor ke kamar mereka. Sementara Minhee memilih untuk mengunci kamarnya dan Eunsang terlebih dahulu sebelum ikut ke kamar Dongpyo juga.

Lalu, saat ia tiba di sana, ia dapat melihat si mungil Son yang sedang merapikan rambutnya yang acak-acakan. Ia sudah selesai dengan urusan telpon-menelponnya. Ada juga Dongyun yang sudah turun dari ranjang, bersiap keluar untuk ikut bersama mereka.

Setelah Dongpyo sudah selesai merapikan rambutnya, mereka berempat keluar dari kamar itu. Lalu, setelah mengunci kamar langsung berjalan meninggalkan area asrama untuk pergi ke dapur di lab lingkungan. Tadi, pak Gigih—yang sudah kembali dari Lombok—dan bu Rati—yang hampir setiap hari menghabiskan waktu mereka di lab lingkungan selama jam kerja—menelpon dan mengajak mereka membuat rujak. Sebenarnya, sudah janjian juga dengan Minhee dan Eunsang ketika keduanya pergi ke lab untuk menghitung fitoplankton mereka tadi pagi.

Jadi, setelah makan siang dan beristirahat sebentar, pak Gigih menghubungi mereka untuk segera pergi dan membuat rujak.

Saat sampai di tujuan, buah-buahan seperti bengkoang, jambu dan apel sudah dikupas dan dipotong kecil-kecil oleh bu Rati. Jadi, saat mereka tiba si ibu langsung meminta mereka membuat sambal rujaknya.

“Saya aja bu, yang buat,” Dongpyo menawarkan diri. Si mungil itu langsung berjalan ke arah kulkas untuk mencari cabai yang disimpan bu Rati di sana. Jangan heran jika mereka sudah tahu di mana letak bahan makanan di dapur itu! Karena sesungguhnya mereka sudah terlalu sering mengobrak abrik isi dapur tersebut.

“Eh Pyo, cabenya jangan kebanyakan. Kepedesan nanti,” bu Rati tiba-tiba berucap ketika matanya menangkap gerakan tangan Dongpyo yang belum selesai mengeluarkan cabai dari kotak penyimpanannya. Dan benar saja, di kedua tangan mungil Dongpyo, sudah ada banyak sekali cabai.

Si mungil itu lantas menoleh, lalu melemparkan tatapan memohonnya pada si ibu,” ya bu, nanti gak pedes.”

“Heh, gue gak kuat pedes,” Eunsang yang sudah duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan itu jelas langsung protes, disetujui oleh anggukan Dongyun yang duduk di sisinya.

“Di sini yang kuat makan pedes cuma lo. Mini kuat tapi gak sebanding sama lo. Jadi, pisahin dulu sambalnya baru lo tambahin cabenya.”

“Sebenernya, motivasi lo apaan sih makan cabe sebanyak itu?” Minhee yang sedang mencomot potongan bengkoang dari mangkok besar berisi buat yang sudah dipotong kecil-kecil ikut berceletuk.

“Pedes enak tahu,” Dongpyo menyahut santai. Ia akan mengikuti saran sebelumnya untuk memisahkan sambal yang tidak terlalu pedas dengan sambal super pedas miliknya.

[1] PRAKTEK KERJA LAPANGAN || HwangMiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang