#10

1.3K 127 10
                                    

"Bisakah kita bicara sebentar?"

Rose menoleh ke arah suara berat itu dan matanya membulat ketika lagi-lagi dirinya dipertemukan oleh pria yang baru saja menjadi bahan curahan hatinya terhadap ibunya.

"Sejak kapan kau ada disini?" Chanyeol tanpa menjawab pertanyaan Rose langsung menarik lengan Rose.

"Yak! Aku bisa jalan sendiri!" Rose memberontak atas tindakan Chanyeol yang tiba-tiba.

"Duduklah" ujar Chanyeol ketika mereka sudah sampai di salah satu bangku taman rumah itu. Rose pun menuruti apa yang dikatakan Chanyeol.

"Jangan harap aku kembali padamu" tegas Chanyeol menggoreskan luka di hati Rose.

"Kau mendengar semuanya?" Chanyeol tidak menjawab pertanyaan Rose lagi.

Rose menghela nafasnya kasar "Baiklah anggap saja aku sedang mabuk dan meracau tidak jelas."

"Untuk apa kau kesini?"

"Jika kau sudah mendengarkan racauanku yang panjang itu maka aku tidak perlu menjelaskannya padamu."

"Apa kau sengaja lagi?" Rose benar-benar sudah jengah.

"Dengar Park Chanyeol, aku tidak memulai pertemuan ini. Kau yang menyeretku kemari. Aku pun tidak tahu jika ada penguping sepertimu."

Perkataan Rose ada benarnya, jika saja Chanyeol menghiraukan isakan tangis wanita ini dan meninggalkannya. Pertemuan mereka sekarang tidak akan terjadi. Hening melanda mereka berdua. Tidak ada yang ingin membuka suara. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Jika tidak ada yang perlu dibicarakan lagi sebaiknya aku pergi" lengan Rose ditahan oleh Chanyeol. Lagi. Rose merasakan dejavu akan hal ini.

"Waktuku terbuang sia-sia hanya untuk menghabiskan keheningan disini." Tegas Rose tetap mendapatkan tatapan datar Chanyeol.

"Jangan tersakiti karena-ku" Chanyeol akhirnya membuka suara. "Aku sudah bahagia. Jadi carilah alasan lain untuk membuatmu bahagia"

"Apa pedulimu? Aku pun tidak mau tahu kau bahagia atau tidak" tegas Rose

"Aku peduli, karena aku merasa risih diharapkan oleh wanita murahan sepertimu" Rose benar-benar tidak percaya akan apa yang dikatakan pria disampingnya ini. Ia benar-benar ingin mati saja sekarang.

Rose tertawa sinis "Terima kasih sudah membuatku benar-benar membencimu Park Chanyeol"

"Baguslah, aku tidak perlu susah-susah menyingkirkan sampah sepertimu" Chanyeol merasa iblis jahat merasuki dirinya.

"Apakah aku serendah itu dimatamu Tuan Park?" Ujar Rose dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

"Lebih baik kau segera cari pisau dan bunuh aku sekarang daripada aku harus terbunuh akan kata-kata jahat yang sepenuhnya tidak benar itu!" Chanyeol terdiam.

"Siapa juga yang menginginkan semua ini. Asal kau tahu Tuan Park, jika saja aku tidak punya hati akan ku tolak mentah-mentah permintaan calon istrimu itu. Dan satu lagi, jangan anda pikir saya yang hadir kembali di kehidupan anda!"

"Jika anda tidak punya hati, setidaknya gunakan otak anda untuk berbicara lebih baik!"

Rose sudah kehabisan kesabarannya menanggapi Chanyeol yang hanya diam tanpa berkutik. Dirinya seperti bom atom yang siap meledak kapan saja. Karena sudah merasa tidak tahan akan situasi ini, Rose pun segera beranjak dari tempat duduknya.

Kali ini Chanyeol membiarkan kepergian mantan kekasihnya itu. Tatapannya tetap sama, tajam dan datar. Namun berbeda dengan kondisi hatinya. Rasanya ia ingin membenamkan dirinya ke bagian bumi paling dalam karena telah menyakiti lebih dalam perasaan wanita itu. Memang bukan kali pertama Chanyeol melontarkan kata-kata buruk yang menyakiti hati itu. Namun baru kali ini ia merasa penyesalan yang begitu dalam dengan apa yang dilakukannya. Dirinya menyesal mengetahui bahwa Rose telah berani membalas perkataan Chanyeol. Berbeda dengan terakhir kali ia meneriaki dan menghujami wanita itu dengan belatinya 10 tahun lalu. Kala itu Chanyeol merasa puas karena Rose hanya menangis tersedu tanpa berkutik sedikitpun. Chanyeol menepuk kasar dahinya dan menopangya dengan kedua tangannya. Matanya memerah dan tangisnya pun pecah.
.
.
.
.
Rose tetap melangkahkan kakinya yang sudah bergetar. Ketika dirinya merasa sudah jauh dari tempat pria itu, kekuatannya pun roboh. Ia merosot diatas hamparan rumput dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Perasaannya semakin memburuk. Isakan demi isakan ia lontarkan sendiri.

Heartbreak That I LovedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang