Wangi Bayi

15.8K 1.8K 41
                                    

Happy Reading
~
~
~

Aku baru saja akan mengajak yang lain ghibah saat ku temukan wajah-wajah kusut lembur. Kasihan.

Namun percayalah, ghibah selalu berhasil bikin suasana mencair dan yang pastinya kembali fresh untuk kembali bekerja.

Keenan mengangkat kepalanya, tatapan kami bertemu. Wajahnya nampak kuyu mulai ngantuk tapi bibirnya tersungging begitu melihatku.

Terkadang aku heran, kenapa aku tidak menyadari arti tatapannya sejak lama. Padahal aku paling jago mendeteksi tatapan mata. Kalau buku merupakan jendela dunia maka mata adalah gambaran isi hati yang sukar tuk berbohong.

"Dari mana?"

Yang lain sekilas mengerling, kami memang sedang di ruang kerja. Tersekat oleh kubikel dan posisiku masih berdiri.

"Oh, itu, pak Randy punya ta--"

"Guys!"

Ucapanku disela oleh pak Randy yang mendadak muncul dari lift bersama nona tamu yang ku antar tadi. Pak Randy nampak buru-buru.

"Rere mau lahiran, saya mau ke rumah sakit dulu."

Semua sontak langsung berdiri dari kursi mereka. Ucapan formal pak Randy dan lirikannya pada perempuan itu menandakan kami kudu terlihat profesional.

"Sudah di rumah sakit?" Tembak Dino

"Belum, masih dalam perjalanan."

Aku menganga. Omaygat. Ini hujan, dan di beberapa tempat sedang banjir. Ku harap perjalanan lancar jangan sampai brojol sebelum sampai di tempat tujuan.

"Hati-hati, pak," pesan yang lain.

"Ok. Jaga GT, saya keluar dulu. Kalian jangan kelamaan lembur, minimal progresnya 75% abis itu lanjutin besok aja."

"Siplah, buruan deh, pak. Bu Rere butuh bapak buat jadi suporter nya."

"Wait," cegatku. "mau saya antar saja pak?" Siapa tahu dia panik, atau mungkin enggak ya? Bahaya menyetir saat emosi sedang tidak stabil.

Dia menggeleng, "gak usah, hujan. Bahaya. Saya baik-baik saja."

Keliatannya sih, dia baik-baik saja. Aku mendesah khawatir, ngeri membayangkan yang tidak-tidak aku merinding.

"Sebentar ya pak, sabar." Aku menahan pak Randy dan menelpon supir yang biasanya diajak pak Randy tiap kali dia malas nyetir.

"Halo pak, iya, bapak posisi di mana? Oh gitu. Tolong antar pak Randy ke rumah sakit ya pak, sekarang."

Setelah panggilan terputus aku kembali berujar, "pak Sapto sudah menunggu di bawah pak."

"Terima kasih, Fiana."

Aku mengangguk kan kepala sembari berjalan dan membuka lift untuk mereka. Kadangkala aku suka pekerjaan ku ini, terlihat apa ya? Aku bisa meng-handle dan membantu pekerjaan menjadi lebih ringan.

Pak Randy langsung cabut dan mengajak perempuan itu pergi bersamanya.

Kami pun yang tadinya hectic sejenak terhenti dari segala aktivitas. Saudara keempat pak Randy mulai memasuki usia kepala empat, banyak risiko melahirkan dalam usia itu.

Probabilitas Berjodoh {Completed ✓}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang