Happy Friday
Happy reading
~
~
~Selalu ada kata 'pertama kali' dalam hidup. Dan yang namanya pertama kali adalah moment yang paling membekas dalam ingatan. Sejak dulu meski mama selalu mendorong aku menjadi anak yang aktif kenyataannya aku justru yang paling pasif bahkan dalam lingkup terkecil, keluarga. Abang Angga, mama dan papa pernah menorehkan prestasi pada masa mereka, sementara aku? Ya ngalir aja, seperti ikan mati yang mengikuti arus air ke lembah yang lebih rendah. Tak ada ambisi. Selama aku merasa cukup ya aku begitu saja. Karena aku selalu takut melawan dan menerobos zona nyaman. Tak ada minat untuk menjadi orang di atas rata-rata.
Termasuk begitu lulus menjadi sarjana psikologi, aku yang notabene-nya mahasiswi pasif yang tak pernah terlibat dalam kepanitiaan ataupun bersedia masuk organisasi hanya bisa gigit jari melihat kawan-kawan ku yang sejak dulu telah ditempa mental, pengalaman dan insight. Mereka mulai berperang pada realita hidup yang sesungguhnya. Meniti karier sampai titik darah penghabisan.
Fiana yang sesungguhnya adalah pengecut. Aku selalu takut memulai hal-hal baru. Aku bahkan takut bekerja di bawah tekanan, tapi hal itu justru yang paling mustahil. Bukankah saat ini dunia kerja mengandalkan keterampilan dan kreativitas? Dan dua variabel tersebut berarti mengandalkan aku yang mesti bisa menyuarakan inovasi-inovasi terbaru. Apalagi yang namanya ilmu sains tidak pernah berhenti, studi tersebut terus berkembang.
Aku menolak untuk sadar bahwa dunia ini terus berinovasi. Menolak berkembang artinya aku bersedia tertinggal, tak peduli bahwa aku siap atau tidak. Aku mau atau tidak. Dunia tidak pernah mau mendengarkan aku.
Sampai di suatu titik hingga aku menjadi sekretaris sang primadona para mahasiswi. Ckck!! Gila sih. Instagram nya kebanyakan mahasiswa yang melek finansial tapi komentar-komentar mereka menjurus flirt-flirt cantik. Sekarang aku sedang stalking social media nya. Eh, ini bukan stalking ding. Sebelum aku terperangkap dalam ruang make up minimalis ini, aku diminta memegang akun pribadi si pak bos. Ada dua akun yang benar-benar ia pegang yaitu WhatsApp dan email. Selain itu? Nothing.
Penasaran enggak sih kenapa aku mau jadi sekretaris?
Faktor pertama, mendengar confession mama dari mulut Siana, ingat kan?
Kedua, menurutku aku cukup proper menjadi sekretaris. Meski aku tak punya pengalaman dalam bidang itu, sedikit pun tidak. Lebih baik mencoba dibanding enggak sama sekali. Agar tidak ada penyesalan, sudah banyak penyesalan yang tertoreh dalam hatiku dan ku rasa itu sudah cukup banyak.
Ketiga, pengin cari pengalaman. Di umur ku yang bentar lagi masuk kepala tiga. Demi Allah pengalaman ku tuh cuma seuprit, makanya aku enggak percaya keterima kerja begitu saja.
Keempat, gaji yang menggiurkan tentu saja.Sekian.
Eh, satu lagi. Menemukan jodoh potensial. Makin bertemu orang baru, memperluas networking semakin mempermudah jalan bertemu jodoh. Ya, kan?
Walau perkara jodoh jadi aspek ke sekian, aku harus mengejar ketertinggalan.
Sementara di make-up oleh MUA yang bekerja di oldukca boutique ini, aku hanya bisa berdecak geli sekaligus meringis miris menemukan komentar genit dari foto yang di post pak Randy.
Padahal si bapak mah cuma foto tangan yang sedang memegang Tumbler doang dengan caption yang berkaitan tentang finansial tentu saja, erat sangat dengan investasi. Sebagian kaum hawa di Indonesia kayaknya perlu diberi edukasi untuk tidak mudah melontarkan kalimat-kalimat murahan. Dirimu enggak semurah itu cantik. Yang ada cowok kabur. Apalagi modelan pak Randy? Dimana cara pandang nya, mindset nya, perilaku nya enggak cocok dengan cara mahasiswi nge-flirt lewat komentar. Jatuhnya jadi kurang sopan. Mau menggoda dia? Pake caranya dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Probabilitas Berjodoh {Completed ✓}
ChickLitMenurut kalian bahagia itu seperti apa sih? Punya banyak uang? Atau punya karier bergengsi? Pacar atau pasangan romantis? Ketiga hal itu sama sekali jauh banget dari hidupku. Aku enggak tahu apa aku ahli dalam sebuah bidang, maybe? Intinya meski aku...