12. LINTANG HILANG

337 150 33
                                    

Sudah pernah saya peringatkan, lebih baik lepas rasamu. Jangan labuhkan pada insan seperti saya. Jika puan bersama saya, luka akan terus puan dapat.

†††

           Bell pulang sekolah sudah menggaung dan Lintang tengah berada di depan kelas XI-MIPA 1, menunggu sang pujaan sedang melaksanakan bimbingan belajar karna Gellael akan mengikuti olimpiade Matematika tingkat Nasional bersama Arunika.

Sebenarnya, Gellael sudah menolak mentah-mentah ajakan Aru dan ia juga sudah melangkah menuju keluar gerbang sekolah untuk pulang.

Tapi, entah ada angin apa atau ada sihir apa yang dimiliki Lintang. Dengan bujukan melas ditambah bumbu manik yang membulat memohon seperti hewan bambi, anak lelaki itu mau mengikuti bimbingan belajar.

Bukannya sombong atau apa. Tapi, ini memang nyata. Tanpa adanya bimbel seperti yang dianjurkan sekolahnya ini. Gellael bisa dan dapat menjawab soal dengan mudah dan cepat.

Belajar itu membosankan. Hanya menatap papan tulis, mencatat, bertanya untuk mencari muka atau bertanya memang tak tahu. Itu sangat tidak efisien. Cara belajar Gellael berbeda, dia hanya cukup mendengar satu kali. Loker memori otaknya akan menyimpan dengan baik.

Tapi, entahlah. Daripada nilai sikapnya minus dimata guru-guru dan Lintang terus membujuknya sampai gendang telinga pun hendak pensiun mendengar, lebih baik ikut saja toh?

Lintang duduk di kursi panjang yang memang tersedia di depan setiap kelas di sekolah ini. Tangannya sibuk memainkan ponsel genggam. Sesekali bersenandung kecil lagu dari Ardiansyah Martin - Bukan Salah Jodoh.

"Heh!" kejut suara yang familiar kepada Lintang.

Cewek itu menoleh, tersenyum lalu bangkit berdiri. "Lael? Ada apa? Bukannya belum selesai ya?"

"Mending lo pulang sekarang."

"Lho, kenapa?" tanya Lintang bingung.

"Gue masih lumayan lama. Mungkin sampe jam enam dan sekarang udah mau gelap."

Lintang tersenyum. "Saya ndak apa kok. Kamu belajar aja sana. Saya tunggu di sini."

Gellael menggeleng dan ada rasa bersalah menyusup direlungnya. "Harusnya lo gak usah suka sama gue."

Kening cewek itu mengerut tak mengerti. Kenapa pujaannya mengatakan hal itu. Tapi, untuk kali ini Lintang bungkam. Menganggapnya angin lalu, mungkin Gellael lelah.

"Kalo cuman nyusahin diri lo sendiri. Mending pulang sekarang sana."

Lintang terkekeh. "Saya ndak merasa disusahkan. Sudah sana kamu belajar lagi."

Gellael mendengus. "Kalau ada apa-apa, lo bukan urusan gue," ketusnya lalu masuk.

Cewek itu tersenyum dan mengangguk, ada perih sih tapi ya mau bagaimana lagi? Ini konsekuensi yang harus didapat dalam cinta sendiri, 'kan? Kamu terlalu peduli tapi dia terlalu tuli untuk rasa yang kamu miliki.

Tiba-tiba ponselnya berdering. Tertera di layar, nama •Kak Mahesa• memanggilnya. Tanpa ba-bi-bu Lintang menggeser kursor berwarna hijau itu untuk mengangkat panggilan. Berjalan menjauh dari ruang kelas agar tidak menggangu kegiatan bimbel tersebut.

"Halo, kak?" Lintang membuka suara.

"Lo di mana sama Gege?" tanya Mahes khawatir.

"Di sekolah, Kak."

"WHAAAAT?"

"Kenapa, Kak? Memangnya Lael belum kasih tau?"

"Ngapain di sekolah, sayangku cintaku manisku? Ini udah hampir jam 5 lewat!" ucap Mahes gemas. Dua remaja itu menyebalkan sekali.

"Ini kak, Lael ada bimbingan belajar untuk olimpiade matematika nanti," jelas Lintang santai.

"Terus kenapa lo gak pulang?"

"Saya mau temani Lael. Muehehehe,"

"Astaga lo tu pe'a bat si. Entar kalo lu kenapa-napa gimana? Gue lagi gak sama kalian masalahnya, Lintang."

Mahes mengomel di seberang sana. Lintang hanya terkikik geli. Tak menyangka, sebacot itu ternyata seorang keras seperti Mahes ini.

Tiba-tiba pula ada yang membekap mulutnya dari belakang. Entah siapa itu?

Gumaman tolong pias terdengar.

Di satu sisi. Mahes yang berada di rumah tengah duduk di depan televisi bangkit berdiri dan menghentikan omelannya.

"Ha-halo, Lin? LINTANG! LO MASIH DISANAKAN? LINTANG!!!"

Sambungan telephone terputus. Wajah Mahes memucat.

"Gue harus ke sekolah," desisnya yakin. Langkah Mahes panjang tergesa. Menuju kamar, mengambil jaket jeansnya dan kunci mobil.

Saat sudah berada di dalam mobil. Tessa muncul, mencegat anak sulungnya. Mahes keluar menghadap sang bunda.

"Mau kemana? Gege adek kamu mana? Mama khawatir, Esa," lirih Tessa lalu menyeka ujung matanya. "Lintang juga mana? Biasanya kan kalo pulang bareng adek kamu."

Mahes mendengus samar. Lalu, tersenyum. "Gege sama Lintang aman kok, Ma. Maaf mereka belum bilang. Mereka ... mereka main ke tempat temen. Ini Esa mau jemput," ucap Mahes berbohong. Dengan nada lembut agar menenangkan hati sang Bunda.

"Jagain mereka. Bawa pulang, jangan ada yang lecet lho ya?" peringat Tessa dengan sunggingan paksa.

Mahes mengangguk mantap. "Pasti, Ma! Mama tenang aja. Ya udah, Esa berangkat dulu," tandasnya lalu mencium punggung tangan Tessa dan melaju ketempat tujuan.

"Kamu juga hati-hati!" teriak Tessa dan jejak sulungnya sudah jauh dari manik lelahnya. "Andre, cepet pulang," lirih wanita setengah baya itu memanggil nama suaminya lalu masuk.

🐥

🐥

🐥

🐥

Rev.07052024

Menghasilkan 752 kata untuk chapter 12 ini.

Setelah berabad-abad lamanya nenek moyang kita yang seorang pelaut itu menjelajahi dunia. Tidak ada satupun anak cucunya meneruskan mengarungi samudera demi mendapatkan yang didamba. Memang, zaman sudah sangat berubah.

Lebih mementingkan karir ketimbang dunia percintaan.

••Kaka. Ibu bebek kuning~

CHILDISH: NewbiexNewbie  ||  ༺On Going༻Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang