#17. (Senja)

15 3 1
                                    

Jika kalian pulang sekolah langsung pulang dan bertemu keluarga berbeda dengan dua insan yang tengah berjalan di bibir pantai itu. Ntah untuk ke berapa kalinya mereka ke pantai yang jelas mereka bahagia di sana.

Bintang dan Raylin duduk di bibir pantai sembari melihat indahnya air laut yang biru, sedikit bercahaya karena terpaan sinar matahari yang terik.

"Sama seperti air laut yang tidak akan ada ujungnya. Seperti itu pula rasa sayangku ke kakak gak akan ada ujungnya?" ucap Raylin tanpa sadar.

Bintang tersentak kaget lalu dengan cepat menoleh ke sampingnya. Terlihat Raylin yang tengah memejamkan matanya dengan tersenyum, gadis itu tidak sadar.

"Ray ...."

Raylin membuka matanya lalu menoleh ke arah Bintang, apa yang dia lakukan? Kenapa dia sangat bodoh? Astaga Raylin mengutuk mulutnya yang tidak bisa mengerem ini.

"Kakak denger semua kata-kata aku?"

"Iya," jawabnya namun dalam hati. "Kata-kata apa?" ucap Bintang lagi.

"Oh nggak denger yah? Hmm yaudah, tadi kenapa manggil?"

"Ikut aku yuk, ada kejutan buat kamu."

"Oke."

Raylin mengekori Bintang menuju motornya lalu motor milik Bintang melaju dengan kecepatan rata-rata membela jalanan. Ntah kemana tujuannya.

***

"Leon ...."

Leon menoleh, menatap manik indah milik wanita paruh baya di sampingnya. Dia bunda Bintang, ibu dari Sahabat nya.

"Kenapa Tante?"

"Kamu tau apa yang dikatakan Dokter tadi?" Air mata indah itu perlahan terjatuh dari kedua manik mata indahnya.

Leon menghela nafas lalu menggeleng. "Belum, Bintang belum ngomong apa-apa sama Leon Tante. Kecuali." Leon menjeda kalimatnya lama.

"Kecuali apa? Bintang ngomong apa sama kamu?" Bunda Bintang mengguncang tubuh Leon pelan. Menuntut sebuah jawaban.

"Bintang bilang, suruh Leon jagain Raylin nanti. Suruh Leon jangan biarin Tante gak boleh nangis nanti." Nanti setelah Bintang pergi Tan.

Tangis bunda Bintang pecah, dia tau hanya 0,01% Bintang untuk sembuh. Bahkan selama ini dia juga mencoba untuk kuat dan mencoba untuk perlahan merelakan jika seandainya putranya dipanggil kelak. Yah dia tengah mencoba untuk terlihat tidak apa-apa dan mencoba untuk tidak apa-apa. Iya hanya mencoba.

***

Raylin turun dari jok belakang motor Bintang, waktu yang tepat dan tempat yang apik. Sore ini Bintang membawa Raylin ke sebuah bukit yang Raylin tidak tau di mana. Semburat oren yang Raylin lihat sangatlah indah. Belum pernah Raylin melihatnya, belum.

Raylin menatap Bintang yang juga tengah menatap indahnya Senja. Laki-laki itu memasukkan kedua tangannya ke saku celana lalu matanya terpejam membiarkan sisa-sisa sinar menyirami wajah tampan miliknya.

"Makasih Kak," ucap Raylin tanpa beralih untuk menatap lainnya selain wajah Bintang.

"Aku yang makasih Ray." Bintang beralih menatap Raylin yang tengah tersenyum manis di depannya.

Raylin tidak menanggapi ucapan Bintang, Dia hanya memilih menikmati indahnya wajah bintang dan juga indahnya senja. Munafik jika Raylin bilang dia tidak menyukai Bintang. Nyatanya Raylin sangat mencintai Bintang.

"Ray ...," panggil Bintang.

"Ya?"

"Aku suka senja, tapi kamu jangan kayak senja. Yang hadir secara tiba-tiba lalu pergi dengan meninggalkan luka."

Raylin mengulas senyum lagi. Kata-kata itu sukses membuat semburat pink di pipi Raylin. Ah, sepertinya Bintang memang selalu membuat pipi Raylin memerah.

"Nggak."

"Aku denger semua kata-kata kamu di pantai tadi. Aku juga sayang sama kamu Ray."

Mata Raylin membulat, ah laki-laki itu membuatnya terbang laku menjatuhkannya sampai dasar. Huh!

"Terus?" tanya Raylin dengan nada kesalnya.

"Aku sayang sama kamu. Mau jadi milik aku?" Bintang tersenyum saat Raylin mengangguk.

Bintang menarik tangan Raylin ke dalam pelukannya. Bahagia? Tentu saja, setidaknya Raylin pernah ia miliki walau tidak selamanya. Bintang tau, hidupnya sudah tak akan lama lagi di dunia ini maka dari itu Bintang tidak ingin mengukur waktu lagi untuknya dan Raylin-nya.

"Terima kasih Senja." batin Bintang lalu kembali mengelus punggung Raylin.

***

"Apa?! Jadi selama ini Bintang sakit?" tanya Rizky.

Aurel, Leon dan Rizky bertemu di cafetaria dekat rumah Bintang dan itu Leon yang meminta. Cukup, dia tidak bisa menyembunyikan nya lagi. Biarlah setelah ini Bintang pergi dan menjauhinya dari pada dia selalu dihantui oleh rasa tidak nyaman ini.

"Penyakitnya udah dari dia umur tujuh tahun. Maaf gue sembunyiin ini dari kalian."

Aurel berdecak sebal. Padahal satu rumah dan bahkan sering bertemu lantas kenapa dia tidak tau tentang Bintang? Satu pun!

"Kenapa lo gak kasih tau gue sih Kak?!"

"Bintang yang minta Dek."

Aurel menghela nafas. Jika Bintang yang meminta mana bisa dia marah? Jika dia marah maka dialah yang salah karna mengusik private orang.

"Terus kenapa dia bisa lincah banget main basket?" tanya Rizky.

"Bintang itu bukan kayak anak yang lagi penyakitan. Bintang itu anaknya aktif, dia terlihat tidak apa-apa saat bermain bareng kita. Tapi dua atau empat hari setelahnya lo tau sendiri dia sering bolos. Itu karna dia pusing dan sering mimisan, selama itu dia berdiam diri di UKS."

Leon merasa menjadi sahabat paling bodoh di sini, bahkan dia tidak bisa apa-apa untuk Bintang sahabatnya. Huh ....
Jika boleh bertukar tempat Leon mau bertukar tempat dengan Bintang, Leon tau Bintang itu laki-laki baik berbeda denganya mungkin(?)


TBC

Maaciuw:*
Typo bilangin yah ....

Raylin story'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang