lebih dekat

15 1 0
                                    

Hari libur seperti ini, biasanya Zeline rebahan saja di dalam kamar seharian. Tapi, beda dengan kali ini. Zeline telah siap dengan pakaian serba hitam serta kerudung yang menutupi kepalanya. Zeline menemui ibunya yang masih sibuk di dapur.

"Bu, Zeline keluar bentar, ya."

"Mau ke mana? Ini masih pagi, Zel, lagian kamu pakai serba hitam?" Ibu Zeline nampak bingung melihat tingkah anak bungsunya itu.

"Mau ziarah ke makam orang, bu. Zeline berangkat dulu ya. Assalamu'alaikum."

Setelah berpamitan dengan sang ibu, Zeline bergegas mengeluarkan motornya dari garasi. Zeline memanaskan mesinnya sebentar, lalu melaju secara perlahan.

Di sepanjang jalan, Zeline terus saja tersenyum. Sebenarnya, dia juga bingung mengapa ingin ke pemakaman itu. Tapi, ada hal yang ingin Zelien ceritakan kepada seseorang. Meskipun orang tersebut tidak akan bisa menjawab pertanyaan Zeline.

Sesampainya di pintu pemakaman, Zeline membeli bunga tabur dan sebuket bunga mawar yang akan ia letakkan di atas nisan nanti.
Zeline melangkah dengan penuh semangat. Seolah, ia akan mebertemu dengan orang yang dicintai. Sampai kaki Zeline berhenti pada batu nisan bertuliskan nama Ratna Wijaya. Zeline berjongkok di sana, seraya mengelus batu nisan itu.

"Hai, tante. Masih ingat aku, kan? Zeline, temen Pandu. Aku ke sini lagi, tan. Nggak tau juga apa yang membawa aku datang ke sini, tapi hati aku ingin. Tan, menurut tante apakah Pandu bener-bener mencintai aku? Tante pasti tau, kan? Pandu bilang, dia sering cerita tentang aku ke tante." Zeline menghempaskan tubuhnya ke tanah agar posisinya lebih enak.

"Tante juga pasti tau kalau perasaan Pandu belum terbalaskan. Tan, aku selalu nyakitin anak tante. Aku minta maaf sama tante, aku belum bisa sepenuhnya bahagiain Pandu, tapi aku bakalan selalu jadi teman terbaik Pandu. Tante pasti ingin Pandu mendapatkan seseorang yang terbaik untuk Pandu, kan? mungkin orang itu bukan aku. Tante yang tenang di sana."

Zeline menaburkan bunga yang dia beli di depan tadi, tak lupa dengan sebuket mawar yang ia letakkan tepat di batu nisan. Perasaannya sedikit lega, Zeline bingung mengapa ia harus mengatakan semua itu dengan ibu Pandu.

Setelah berpamitan, Zeline memilih untuk pulang. Sesaat matanya terfokus pada sebuah makam yang tak jauh dari tempatnya berdiri. seorang laki-laki yang bersimpuh dengan air mata di atas makam itu. Zeline berusaha mengabaikan, namun hatinya tergerak ketika mengingat makam itu adalah milik seseorang yang baru saja ia kenal dari Pandu. zeline mendekati laki- laki itu. suara isakannya masih terdengar parau dan pilu.

"Re, aku kangen." suara yang terdengar sangat menyakitkan.

"Sa?" Zeline menyentuh bahu Angkasa. Ia dia Angkasa

Merasa dirinya terpanggil, cowok bernama Angkasa itu menoleh. Cowok itu tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke makam. Zeline ikut berjongkok, sesekali mengusap punggung Angkasa. Zeline tak pernah tahu, bahwa ada seseorang yang begitu terluka ditinggal kekasih. Yang Zeline tahu, cowok akan sangat mudah melupakan seseorang dan kemudian mencari pengganti yang lain. Semua itu tidak ada pada diri Angkasa.

"Dia udah tenang di sana." Zeline memberanikan diri berucap.

"Gue yang nggak tenang di sini." Angkasa tertawa, tapi penuh kehampaan dan luka.

"Sa, setiap orang pasti akan kembali cepat atau lambat, aku tau semuanya nggak akan mudah. Tapi, kamu juga harus bisa melanjutkan hidup. Aku yakin, Rea juga mau kamu bahagia."

"Gimana gue bisa hidup, kalau kehidupan gue udah mati? Gimana gue bisa bahagia kalau kebahagiaan gue udah pergi? Hanya raga gue yang hidup, nggak dengan jiwa gue. Dua tahun, Zel, dua tahun gue mencoba bangkit. Nyatanya? Sampai sekarang hati gue punya dia." Zeline kembali terenyuh melihat cowok yang kesan pertamanya menyebalkan, tapi sekarang lemah dan penuh luka.

"Kamu nggak pernah coba, Sa. Aku nggak nyuruh kamu buat ngelupain semua tentang dia. Tapi, kamu harus coba buka hati untuk yang lain. Masih ada hari esok untuk kamu bahagia, karena kamu berhak bahagia, Sa."

Angkasa menatap lekat kedua mata Zeline. Hatinya menghangat. Lalu mengalihkan pandangan ke makam. Dua tahun ditinggal pergi dan tidak akan kembali bukan hal yang mudah. Semua adalah kesalahannya, andai saja waktu bisa diputar Angkasa tidak akan bertindak seceroboh itu dan mengakibatkan kekasihnya pergi selamanya.

Angkasa tersenyum, ia mengecup batu nisan bertuliskan Reanya. Cowok itu membentangkan tangannya di atas makam seolah memeluk tubuh seseorang. Mata Zeline memanas, tak pernah mengira bahwa ada orang setulus Angkasa dalam mencintai, bahkan meski dimensinya telah berbeda.

"Sayang, aku pulang dulu, ya. Jangan cemburu, aku nggak suka sama dia. Kamu tau, kan, tipe aku itu kayak kamu imut dan menggemaskan. Kalau dia jutek kayak bebek. Nanti tunggu aku di Ampera, ya."

Meski terdengar menjengkelkan, kalimat Angkasa tak membuat Zeline marah. Zeline ikut tersenyum melihatnya. Semasa hidupnya, mungkin Rea adalah gadis paling beruntung karena memiliki pacar seperti Angkasa. Semoga nanti Zeline bisa seberuntung Rea.

"Zel, mau bareng, nggak?" Angkasa membuyarkan lamunan Zeline.

"Eh, iya."

Zeline mengikuti langkah kaki Angkasa. Di perjalanan menuju parkiran, mereka hanya diam. Zeline belum terbiasa membuka obrolan jika tidak ada tujuan yang jelas.

"Lo ziarah ke makam siapa?" Zeline terbelalak dengan pertanyaan tanpa basa basi itu.

"Eh, makam... Makam temen, iya makam temen."

"Oh, gue pikir, lo ke makam mamanya bang Pandu. Lagian, buat apa juga, ya lo ke sana. Nggak ada kepentingan juga."

"Emang kenapa?"

"Lo, kan, nggak suka sama dia. Lo selalu jutekin dia, mungkin aja lo selalu nyakitin dia. Mungkin loh, ya, jangan tersinggung."

Deg. Jantung Zeline berdenyut. Mungkikah dirinya sejahat itu? Bahkan orang luar saja tahu bahwa Zeline sering nyakitin Pandu.

"Bang Pandu itu orang baik, baik banget. Dia tipikal orang yang rela nyakitin dirinya sendiri demi melihat orang yang dia cintai bahagia. Menurut gue, sih, dia terlalu bucin. Ya.. Bucin wajar-wajar aja, tapi jadi nggak wajar kalau bucinnya sama orang yang salah. Apalagi orangnya berlagak nggak tau padahal dia tau."

Angkasa melirik Zeline sekilas. Wajah gadis di sampingnya ini sangat tenang, bahkan tak terlihat ekspresi apa yang sedang ia tampilkan. Namun, di dalam hatinya, Zeline sangat merasa bersalah. Angkasa benar, bahwa Zeline telah menyakiti Pandu begitu dalam. Bahkan, Zeline seolah-olah tidak tahu.

"Gue, sih, berharap orang itu bisa bales perasaan bang Pandu."

"Kamu nggak perlu nyindir aku kayak gitu, aku tau kok kalau aku udah nyakitin Pandu. Itu sebabnya aku nggak pantes buat Pandu. Pandu bisa dapetin perempuan yang jauh lebih baik dari pada aku."

"Kalau dia bahagianya sama lo, lo tetep kekeh bilang kayak gitu? Padahal lo tau bagi bang Pandu, lo lah perempuan terbaik itu."

Zeline menghentikan langkahnya, ia menatap lekat-lekat kedua mata Angkasa. Sebenarnya, Zeline malas berdebat perihal ini dengan orang lain yang bahkan belum ia kenal. Tapi, terkadang ucapan Angkasa ada benarnya itulah alasan mengapa Zeline mau sedikit berbicara kepada Angkasa.

"Kamu itu cuma orang baru, Sa. Bahkan, pertemuan kita aja belum genap seminggu. Kamu nggak akan paham, kamu nggak akan ngerti."

"Zel, kita emang baru kenal. Tapi, gue tau kalau lo juga mulai menyukai Pandu cuma hati lo menolak semua kenyataan itu. Lo cuma takut! Buat apa lo nungguin orang yang bahkan lo sendiri nggak tau dia di mana."

"Tau apa kamu soal dia? Jangan pernah ikut campur urusan aku, mau aku nungguin dia atau nggak itu semua bukan urusan kamu! Satu lagi, meskipun aku nggak tau dia ada di mana, tapi dia selalu ada di sini! Di hati aku dan sampai kapan pun akan terus begitu."

Angkasa terdiam. Baru kali ini dia melihat Zeline semarah itu. Membahas cowok yang dicintainya menimbulkan efek separah itu. Kalau bisa, Angaksa ingin menarik semua ucapannya beberapa detik yang lalu. Angkasa hanya bisa melihat Zeline yang berjalan mendahuluinya.

Akankah Kita? (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang