Taehyung terbangun dan mendapati dirinya dalam keadaan berantakan. Ia tidak mengenakan apa pun di atas kulitnya, hanya tertutup selimut yang miring karena tidak cukup untuk menyembunyikan dua pria dewasa. Maniknya menyorot pada sosok lain yang masih lelap dengan wajah polos dan sedikit cantik. Taehyung memijat pelipisnya, merutuki dirinya yang merasa aneh di pagi hari. Seharusnya, melihat orang terkasih sebagai awal hari adalah berkah dan kebahagiaan, namun yang ia rasakan adalah sebaliknya; rasa frustasi yang tak berujung.
Ini salah.
Ia tidak mengerti apa pun.
Baik hubungannya dengan Jennie, maupun hubungannya dengan Jungkook.
Semuanya serba keliru.
Perasaannya merumit. Namun Taehyung tahu, untuk Jungkook, warna hatinya sudah berubah menjadi abu-abu. Tidak ada cinta yang tertinggal. Hanya ada gunung penyesalan dan sejentik sisa rasa kasih.
Taehyung mengingat kembali pada tahun-tahun lalu di hidupnya. Semua terasa sangat menyenangkan. Keadaan begitu berbeda, ia belum memiliki lautan kebencian yang dimilikinya seperti sekarang. Kehidupannya dihabiskan oleh tawa gembira dan perasaan damai tanpa beban. Saat itu, hubungannya dengan Jungkook adalah hubungan yang paling murni. Persahabatan yang sangat tulus di antara dua laki-laki. Jungkook telah menyelamatkan hidupnya dengan menjadi temannya yang paling setia. Pria itu ada dalam setiap suka dukanya. Untuk itu, Taehyung senantiasa ingin melindunginya apa pun yang terjadi. Hingga sampai keduanya berada di titik ini. Ia mengikat Jungkook dalam sebuah hubungan konyol. Atas dasar cinta yang sembrono dan ceroboh.
Ia seharusnya tidak melakukan itu...
Ia seharusnya membiarkan Jungkook hidup lebih baik...
Ia seharusnya tidak menghancurkan masa depan Jungkook dengan menjalin hubungan ini...
Taehyung menggeram. Bagaimana pun, nasi telah menjadi bubur. Ia sudah terlanjur merusak Jungkook, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk memperbaikinya. Yang dapat Taehyung lakukan hanya lah tidak menunjukkan cakarnya pada sang kekasih.
Dering ponsel berdentum, menyadarkan Taehyung dari badai ingatan masa lalu. Pria itu beranjak untuk mengambil handphone. Saat melihat siapa yang melakukan panggilan, decakan jengah adalah respon pertamanya. Taehyung menjawab panggilan tanpa minat, "Ya?"
"Cepat lah ke rumah sakit X."
"Ada apa?"
"Istrimu yang manja sedang menangisi ayahnya yang sekarat."
"Perhatikan ucapanmu. Di mana—" Taehyung mengumpat saat panggilan diakhiri secara sepihak, "Brengsek." Ia buru-buru bangkit dan memakai pakaiannya setelah panggilannya tidak mendapat jawaban dari pihak lain. Gerakannya begitu kasar sehingga membuat ranjang bergerak banyak. Hal itu menyebabkan Jungkook terbangun. Dengan parau, pria itu bertanya, ".... Mengapa kau buru-buru sekali?"
"Aku harus kembali. Kau lanjutkan tidurmu."
Jungkook mengerjap mendengar ucapan Taehyung yang tidak memiliki kelembutan sedikit pun. Ia memaksakan senyumnya dan berkata, "Oke. Aku akan menyusul setelah—"
Taehyung memandang Jungkook dengan gelengan lemah, "Tidak perlu."
Pria itu meninggalkan Jungkook tanpa penjelasan. Sikapnya begitu dingin padanya, seolah ia telah melakukan kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Jungkook menggertakkan giginya. "Taehyung," keluhnya.
Beberapa saat setelah presensi Taehyung benar-benar hilang, pintu kamarnya dibuka.
"Good mworning, baby...."
Kepala Somi muncul di balik pintu. Perempuan itu tersenyum penuh goda lalu menempatkan dirinya pada sisi ranjang tempat Taehyung tidur semula. "Kau terlihat lelah. Apa Taehyung terlalu kasar semalam?"
KAMU SEDANG MEMBACA
STRAIGHT? [TN]
FanfictionJennie terpaksa menikahi pria yang dipilih ayahnya. Namun pria itu sama sekali tidak memiliki minat terhadapnya, bahkan untuk sekedar melirik apalagi menyentuh. Ia tidak meragukan dirinya yang sempurna sehingga ketidakminatan sang suami mendorongnya...