Jennie terbangun pagi-pagi sekali. Ia tidak bisa melanjutkan tidurnya meski telah berkali-kali memaksa, matanya tidak memiliki rasa kantuk yang cukup untuk membuat dirinya kembali lelap. Gadis itu meraih ponselnya untuk mendapati jika benda pipih itu dalam keadaan mati, telah kehilangan seluruh dayanya. Satu hal terpenting yang ia lupakan adalah pengisi daya. Bagaimana ia bisa begitu bodoh lupa untuk membawa charger?
"Tolol," Jennie mengatai dirinya sendiri. Benaknya kembali mengingat kejadian semalam, ia tak seharusnya bertindak sebegitu kentara. Pria itu pasti mengetahui jika ia marah tanpa alasan yang jelas, pasti keparat yang masih memejam damai di samping tempatnya tidur menganggapnya aneh. Jennie mendengus geli memikirkan bagaimana pandangan Taehyung kepadanya.
Aku tidak peduli.
Gadis itu melirik ke arah nakas, mendapati dua cangkir yang kosong dan dingin. Ia tidak tahu apakah Taehyung benar-benar menghabiskannya, atau membuangnya begitu saja. Mendapati kemungkinan pertama, hatinya kembali menghangat. Namun belum genap dua detik, hatinya kembali membeku. Ia tidak akan membiarkan dirinya melemah karena hal-hal kecil. Moodnya berubah jengkel, ia kemudian menyumpahi pria yang masih tidur dengan serapah berat. "Kau, anjing menjengkelkan!"
Pukul tiga lebih empat puluh dua.
Itu terlalu dini untuk membersihkan dirinya dengan air dan sabun. Ia benar-benar tidak memiliki hal yang menarik untuk dikerjakan. Jennie membuka tirai yang menutup jendela sehingga menampakkan keadaan kota yang masih tertidur. Angin pagi sedikit membuatnya menggigil. Ia kembali menutup tirai.
Benar-benar sepi. Itu membuatnya merasa tidak nyaman. Karena ia tidak bisa, dan tidak akan membangunkan satu-satunya manusia lain yang menghuni bangunan tempat ia tinggal saat ini, Jennie bergerak mencari hal lain. Sebuah televisi pintar dengan efek suara di sekitarnya adalah harta karun yang begitu mencolok, Jennie buru-buru mengambil remote untuk menyalakannya. Ia tersenyum penuh semangat hingga gigi-gigi rapinya terlihat jelas.
Senyum indah itu terus terpatri di wajah cantiknya hingga...
Tidak ada layanan internet.
Persetan.
Jennie mencari WLAN lain dan mendapati seluruhnya terkunci. Ia terpaksa hanya menonton saluran lokal sehingga ia begitu geram. Ia tidak memahami seluruh bahasa yang digunakan orang-orang di dalam layar. Ia tidak terlalu menguasai bahasa tempat ia tinggal; paling-paling hanya mengetahui Bonjour atau frasa umum semecamnya. Jika ia memaksa, ia hanya akan bertingkah seperti seorang tuli yang mencoba mendengar alunan piano, hanya mendapati gerakan jemari sang pianis dalam menekan piano tanpa bisa mendengar musik yang mengalun indah.
"Mengapa bajingan itu tidak memasang Wi-Fi di sini!?" Jennie mematikan televisi dengan kasar. Ia bangkit dari sofa dengan kaki menghentak kesal. Ia berjalan menusuri lantai yang dingin. Langkahnya memeta hingga dua kakinya menapak di dapur. Membuka kulkas dan mendapati dua kotak besar susu sapi cair, Jennie mengambil salah satu untuk ia tuangkan ke dalam gelas dan meminumnya.
Ia benar-benar bosan.
Sampai akhirnya, ia menyeret kakinya dengan berat dan kembali ke kamarnya. Ia mendapati Taehyung hampir tidak bergerak sejengkal pun. Pria itu seperti batu besar yang tidak akan tergeser bahkan untuk terdorong sedikit. Benar-benar lelap tak terganggu.
Menarik dengusan kesal, ia membaringkan tubuhnya dengan kasar. Ranjang sedikit goyah karena gerakannya. Taehyung melenguh halus, namun kesadarannya sama sekali tidak kembali. Masih setia pada kegiatan istirahatnya.
Satu jam.
Dua jam.
Hingga perlahan sinar fajar mulai mengintip dari sela-sela jendela. Jennie bangkit terburu-buru. Ia merasa jika waktu telah memihaknya! Sekarang adalah waktu yang tepat untuk membersihkan diri. Jennie menata baju ganti sebelum benar-bebar melakukannya; tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti sebelumnya sehingga mata lelaki busuk yang masih tertutup itu tidak akan melihatnya berganti di ruangan kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
STRAIGHT? [TN]
FanfictionJennie terpaksa menikahi pria yang dipilih ayahnya. Namun pria itu sama sekali tidak memiliki minat terhadapnya, bahkan untuk sekedar melirik apalagi menyentuh. Ia tidak meragukan dirinya yang sempurna sehingga ketidakminatan sang suami mendorongnya...