Hampa. Lemah. Sakit. Aku sudah pernah merasakan itu sebelumnya. Tiga tahun lalu, saat kehilangan dua orang yang kusayangi. Terjadi tepat di depan mata sendiri.
Selanjutnya segala yang aku kenal berbeda. Tempat tinggal hingga nama besar di dada, lenyap oleh perubahan. Singkatnya masa kedigdayaan kami benar-benar telah berakhir. Namun aku tidak seperti mendiang ayah kandung, kakek, maupun leluhur para pendiri. Bisa dibilang aku adalah contoh dari mereka yang belum siap akan perubahan. Lantas lebih memilih untuk melarikan diri darinya. Dalam kesendirian. Abadi di sana. Menyakitkan namun itulah yang kulakukan.
Kemudian beberapa orang kaya berhati busuk datang, secara bergantian berniat menjadikan aku sebagai anak adopsi mereka. Aku tak bisa merasa senang maupun kecewa terlebih bersama manusia biadab. Tentu mereka pasti belum pernah melihat lelaki cantik selama sisa hidup menyedihkan itu. Ironis, hanya menganggapku sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan dengan mudah.
Dalam setahun, paling tidak sudah enam kali aku berpindah tangan. Perlakuan semuanya sama, hanya sebatas kasih sayang semu. Seperti yang biasa orang-orang lakukan pada boneka maupun barang antik koleksi.
'Kenapa tidak melarikan diri saja?' Pertanyaan tersebut selalu menyeruak dari dalam kepala setiap harinya. Selanjutnya aku akan jawab 'tidak ada gunanya'. Selama mereka tidak berbuat macam-macam, aku tidak punya alasan untuk melawan. Kecuali pada pria brengsek terakhir. Hampir satu tahun berikutnya aku terjebak. Pada neraka di tengah kesunyian Bavaria. Lalu aku tersadar bahwa dunia masih berharap akan keberadaanku. Yang terpikirkan saat itu hanyalah bertahan hidup. Belenggu tak mungkin mengekang lagi ketika hasrat dan darahku masih panas.
Pemerintah federal bersama seorang lagi yang tak dikenal kemudian menemukanku di tengah belantara. Pada awalnya aku kira dia adalah penawar tertinggi juga. Apalagi tatapan tajam penuh nafsu serta senyuman licik itu, membuatku harus ekstra waspada. Sungguh tidak ada bedanya dengan para bajingan sebelumnya. Bisa jadi dia punya jaringan yang lebih luas dengan modal berlimpah ruah. Kalau sudah begitu, akan sulit lepas dari genggaman. Kecuali ....
'Sekarang aku yang menjadi Papamu!'
Kalimat itu yang pertama muncul pada sosok pria muda di depan. Kali ini entah kenapa aku bisa begitu percaya padanya usai melihat sorot mata sendu itu. Meskipun sebelumnya dia seolah menatap mangsa empuk.
Untuk pertama kalinya aku menangis setelah kematian orang tuaku. Aku sangat bersyukur bisa diselamatkan di hari itu. Aku berutang budi padanya. Mungkin saja dia memang sosok pembebas yang akan menarikku menuju kenyataan.
Tetapi belum saatnya. Panti asuhan lama itu lagi-lagi menjadi tempat kembali. Hanya saja, hari demi hari masih berlalu begitu lambatnya. Sampai-sampai secarik kertas hangat yang barusan kuterima dari akademi militer terasa sudah bertahun-tahun ada di meja belajar. Mungkin aku harus cepat-cepat menjawab surat penawaran itu. Tetapi kuurungkan karena aku yakin komandan mereka adalah orang tak sabaran, yang akan menggunakan segala cara untuk mendapatkan Wunderwaffe sepertiku.
Akan tetapi rasa khawatirku hilang saat pria itu datang kembali sambil membawa puluhan polisi ke rumah. Dia bilang sudah membereskan semuanya dan menjamin masa depanku. Setelah itu dia bersikeras untuk membawaku pergi. Jauh sekali ke sudut dunia. Lebih tepatnya menuju negeri yang terlihat menyedihkan dengan segudang masalah.
Ternyata orang itu mengharapkanku untuk menjadi penerus keluarga–atau lebih tepatnya penerus usaha keluarga. Setelah bercerita panjang lebar, barulah aku paham apa hubungannya dengan Herzburg. Namun aku tetap tidak mengerti akan sifat overprotektifnya. Yang kutahu sebuah tragedi juga menimpanya dahulu, yang mana membuat pria malang itu jatuh terpuruk.
Hingga pada akhirnya semua itu hilang berganti kebahagiaan baru. Terjadi ketika dia bertemu ayah kandungku. Selanjutnya, aku tidak tahu lagi bagaimana kesepakatan yang mereka buat. Yang jelas aku diasuh olehnya sampai sekarang.
Selain itu aku bertemu dengan seorang wanita muda yang di kemudian hari, aku harus menyebutnya dengan 'Mama'. Dia yang mengatur segalanya sejak tiga tahun lalu hingga sekarang. Aku sendiri juga baru mengenalnya saat berkunjung ke manor lama keluargaku. Memang, dia juga punya masalah dan masa lalu yang sama beratnya dengan ayah angkatku. Maka dari itu dia diberi kesempatan kedua di sini. Sekarang aku mengerti kenapa dia selalu disibukkan dengan berbagai urusan kantor yang tak berkesudahan. Sampai kadangkala melupakan anak semata wayangnya.
Ya. Itu semua sudah biasa bagiku. Namun mereka tidak akan pernah bisa menghapus rasa kehilangan yang kualami. Biarpun sudah tiga tahun berlalu, kembali teringat saja bisa membuatku lemas. Tetapi ... tetap tidak mungkin kulupakan begitu saja.
'Aku bisa saja keluar dan mencabut nyawa setiap manusia biadab itu. Namun setelah semua berakhir, keadaan tetap tidak akan berubah sedikit pun. Aku tidak mau mencoba kembali lalu jatuh ke dalam lubang yang sama. Aku tidak ingin dikecewakan lagi.'
'Apa artinya berusaha jika hasilnya sia-sia belaka?'
Itu adalah prinsipku. Lambat laun semua juga akan menyadarinya ... alasan kenapa aku tidak pernah peduli lagi.
Atau justru sebaliknya?
Atau justru menerbitkan kisah baru di tanah ini?
Di sini, di Reksakarta. Itulah nama yang kuingat sejak pertama kali mendarat. Sejak sedan hitam yang kutumpangi melintasi perbatasan provinsi.
Dari atas sini aku bisa melihat ... lingkaran yang jauh lebih besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tales of the Endearing Dolls
Mystery / ThrillerPada hari kelabu di bulan Agustus, Viktor menerima surel dari seorang kenalan sebayanya di dunia maya. Bocah asal Jerman itu diajak untuk saling sapa secara langsung dengan Ilya, setelah sekian lama hanya bersua lewat gim daring populer 'Eternal Sou...