END

1.4K 102 16
                                    

Tidak ada salahnya membuka hati untuk orang lain.
Daripada terus menunggu tanpa ada kepastian yang berarti.

***

SANGGI tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Keluarganya kembali lengkap. Ayahnya sudah sehat kembali, bahkan sudah kembali bekerja seperti biasanya. Ibunya juga sudah terlihat selalu tersenyum. Penantiannya setelah sekian lama terbayarkan sekarang. Sana, adiknya sudah besar. Sanggi tersenyum sendiri. Enam tahun berlalu, semuanya terasa lebih baik.

“Kak!” seseorang menepuk bahunya, membuat Sanggi berdecak. Ia pun tersenyum, bangkit dan memeluk perempuan berambut pendek sejak dulu itu dengan perasaan bahagia. “Lamaaaaa banget sih, Beb. Alasan apalagi kali ini?”

“Ya ampun, Kak! Aku baru kelar kelas tau! Emang jalanan punya sendiri? Macet!” Oshi, yang tak lain adalah pacar Sanggi sekarang itu menggerutu. Mengibas-ngibas rambut karena gerah.

“Lama tapi, aku nunggu kayak orang bego disini.” Sanggi membalas.

Usia mereka terpaut hanya setahun saja. Sanggi sudah selesai kuliah dua tahun lalu. Ia masuk kuliah swasta jurusan Ekonomi. Sementara Oshi perguruan tinggi negeri yang terkenal di Jakarta. Oshi memang menunda kuliahnya setahun DA menempuh jalur SBMPTN. Meski begitu, hubungan mereka lancar-lancar saja meski sedikit ada masalah.

“Yaudah-yaudah, maaf deh. Kita pesan makanan sekarang?”

Sanggi mengangguk setuju. Mereka memesan makanan paling favorit di kafe dekat kantor tempat Sanggi magang.

Di tengah-tengah mereka menyantap hidangan, Sanggi menatap Oshi serius. Membuat Oshi gugup saja. “Kak, kenapa?”

“Shi, kalau aku ngajak kamu tunangan gimana?”

“Ap-apa?”

“Tunangan. Ayo kita tunangan.”

Sanggi memang tidak bisa seromantis itu kalau mengajak Oshi. Kalau jalan saja, tiba-tiba Sanggi sudah ada di depan rumah. Tak peduli kalau Oshi baru bangun tidur dengan wajah bantal dan menjijikkan. Sanggi akan menunggu, entah berapa lama Oshi berdandan.

Yah, itulah mereka. Hubungan yang tidak romantis tapi Sanggi mampu menghidupkan hubungan mereka menjadi humoris.

“Boleh aja sih, kan aku juga mau lulus bentar lagi.” Oshi menjawab, memakan kentang goreng kesukaannya. Sementara Sanggi menatapnya penuh harap. “Sungguh?”

Oshi mengangguk. “Belum nikah kan? Aku mau kerja dulu deh Kak.”

“Gak masalah. Aku ngebebasin kamu. Tapi jangan lama-lama ya. Umurku kan nggak segini-segini aja.” Oshi tertawa, memukul lengan Sanggi pelan.

***

“Abaanggg. Assalamualaikum!” teriakan anak berumur sepuluh tahun membuat Peter yang sedang mengecek laporan keuangan menoleh. Dia tersenyum melihat Diza sudah pulang sekolah. Peter dengan cepat membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas mejanya. Melangkah nendekati Diza yang masih memakai seragam merah putihnya.

“Waalaikumsalam. Hai, Diza. Udah pulang?” Diza mengangguk lugu. Menyalami tangan Peter dengan bahagia. Di belakangnya ada Dion yang memegang kunci. Mereka bertiga masih terus bersama. Mereka tinggal di kontrakan lama. Tetapi terkadang Peter menginap di bengkel.

“Bang, gue bawain nasi padang. Dimakan ya,” kata Dion menaruh plastik di atas meja.

“Thanks. Gue nggak minta padahal.”

“Gue yang lagi pengen. Gue inget lo belum makan. Yaudah sekalian aja gue beliin.”

“Oke. Diza sendiri udah makan belum?” tanyanya.

[TGS 3] SHENNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang