41✳ PATAH HATI

813 87 3
                                    

41✳ PATAH HATI

Hal yang paling menyakitkan memang perpisahan. Tetapi tidak lebih menyakitkan daripada berpisah karena kematian.

- Peter Januar -

***

KONDISI Alona semakin memburuk. Setelah menyelesaikan ujian praktiknya, Peter langsung membereskan barang-barangnya. Menolak ajakan Adriel untuk nongkrong sebentar di kantin. Napasnya memburu. Hatinya sedang tidak baik. Semakin kacau saat telepon dari pembantu rumah mengatakan Alona Susa dilarikan di rumah sakit karena pingsan.

Tetapi, pikirannya terbelah. Alona dan Shenna. Dua wanita yang begitu penting dalam hidupnya.

Sebuah notifikasi masuk ke dalam ponsel Peter. Dia mengecek. Barangkali penting.

Rakha : Gue bakal jagain dia. Tapi, jangan lama-lama gantungin perasaan orang kayak gini. Gue tau lo cinta mati sama dia kan? Jangan sampai lo menyesal.

***

Sebelum ke rumah sakit, Peter memilih mampir dulu ke toko bunga. Hatinya bergerak ingin membelikan Alona sebuket bunga mawar merah. Entah Mamanya itu akan menyukainya atau tidak, Peter juga membeli sekotak donat. Entah mengapa.

Setelah itu dia membawa motornya membelah jalan raya menuju rumah sakit. Bau-bau obat menyengat. Membuat kepalanya pusing sejenak.

Ruang Anggrek nomor 007. Peter melangkahkan kakinya memasuki pintu ruangan itu. Alona terbaring lemah di atas brankar. Penunjang alat kehidupan melekat di sekujur tubuh. Dia sendirian. Peter menyesal, mengapa ia selalu berburuk sangka terhadap Mamanya? Peter tersenyum saat Alona men ole padanya.

“Mama, Peter Bawain bunga buat Mama.”

“Makasih, sayang.” Alona menjawab sendu.

Dikecupnya punggung tangan Mamanya dengan penuh kasih sayang. “Ma.. Beneran nggak mau berobat? Masalah uang gak usah difikirin. Peter bisa kok jual bengkel buat nutupin biaya pengobatan Mama. Asal Mama sembuh, ya? Mama mau kan?”

Lagi, Peter membujuk Alona agar mau berobat. Dan untuk kesekian kalinya Alona menggeleng. Dia menolak. “Mama mau ketemu Lio, Mama kangen Lio. Mama kangen sama Papa kamu, Peter.”

Alona memeluk buket bunga pemberian Peter. Mengusap kepala putranya. “Setelah lulus kamu mau jadi apa? Kerja at a kuliah? Kalau kuliah, kuliah dimana? Kerja dimana?”

“Ma.. Satu-satu dong nanyanya. Peter bingung nih mau jawab yang mana dulu.”

Alona terkekeh. Kemudian dia menggenggam tangan Peter. “Mau kuliah atau kerja?”

“Kerja. Nerusin bengkel. Tapi kalau udah ada uangnya ya sekalian kuliah. Kenapa Mama nanya itu?” Peter aneh sebenarnya. Jarang sekali Alona perhatian seperti itu padanya. Apakah Alona benar-benar menyesal? Tetapi mengapa dadanya sesak? Seakan-akan Alona akan pergi jauh dan tak dapat menanyakan hal seperti itu padanya. Gemetar. Tangan Peter gemetar.

“Anak Mama sudah mandiri ya. Mama sangat senang mendengarnya.”

“Mama berlebihan.”

“Tapi kalau bisa kuliah ya?”

“Peter pertimbangin seiring berjalannya waktu. Tapi swasta. Gak papa kan Ma?”

“Nggak masalah. Memangnya kenapa sama swasta? Kan sama saja. Sama-sama belajar.”

Peter tersenyum.

“Peter, Mama boleh meluk kamu?” tanya Alona pelan. Air mata sudah mengalir membasahi pipinya yang tirus. Peter mengangguk cepat. Dia bahkan lupa untuk menjaga jarak dengan Mamanya. Peter merengkuh tubuh kurus Alona begitu sayang. Terasa hangat sekali.

“Peter, Mama sayang sekali sama kamu. Maaf, Mama banyak salah sama kamu. Mama tidak punya banyak waktu untuk perhatian sama kamu.”

“Ma, udah ya jangan dibahas lagi.”

“Salam ya buat pacar kamu itu. Kapan-kapan ajak ke rumah. Mama mau kenalan.”

“Pasti Ma. Nanti Peter kenalin dia sama Mama. Asal Mama sembuh dulu aja. Gimana?”

Alona mengangguk. “Mama mau tidur, Peter. Mama capek banget. Kamu tidur di sebelah Mama ya? Mama kangen sama anak Mama.”

“Sesuai permintaan Mama.” Peter membantu Alona bergeser. Kemudian dia naik dan berbaring di sebelah Alona. Memeluk Mamanya dengan perasaan kalut, gelisah.

“Mama mau denger pertama kali kamu ketemu sama pacar kamu itu.”

Getir. Peter membayangkan bagaimana pertemuannya pertama kali dengan Shenna. Tetapi, Mamanya meminta. Peter pun bersedia, meski tidak semuanya ia ceritakan.

“Jadi dia punya kontrakan dan kamu tinggal disana?”

Peter mengangguk. “Aku bayar tiga kali lipat. Sekarang kontrakannya ditinggalin sama Dion, yang kerja sama aku. Dia sama adiknya baru aja ditinggalin sama Ibunya.”

“Kasihan sekali. Mama turut Ber el sungkawa.”

“Makasih, Ma.”

Peter menerawang langit-langit kamar yang semuanya putih. Perasaan kalutnya tadi semakin kacau saja saat mendengar teriakan Alona, mengejang. Kemudian alat yang entah apa namanya itu berbunyi nyaring. Air mata Peter menetes. Dia memanggil Dokter dan langsung melakukan apapun yang mereka bisa.

Kini, hidup Peter benar-benar sengsara.

Sejenak, dia teringat oleh permintaan Mamanya. Agar mengajak Shenna. Alona mau berkenalan.

Ya Tuhan...

“Pasien meninggal Dok. Detak jantung tidak kembali.”

Pupus sudah. Peter jatuh terhuyung. Dia memeluk jenazah Alona dengan mata memerah. Jasad Alona sudah dingin. Pucat. Tak ada tanda-tanda kehidupan.

“Mama... Jadi sekarang Mama senang ketemu sama Papa?”

Tes. Tes.

“Mama udah nggak sakit lagi sekarang?”

“Ma.. Peter mau jujur sama Mama.”

“Peter salah, macarin Shenna Ma. Karena Peter baru tahu ternyata Shenna adik Peter. Dia anak Ayah Satria juga. Ma, maafin Peter. Peter nggak bisa ngenalin Shenna sama Mama.”

Peter mengecup dahi Alona untuk terakhir kalinya. Dadanya sakit. Benar-benar sakit.

I love you, Ma. Semoga Mama dan Papa bahagia di surga.”

***

Maaf sedikit :(
Maaf baru update :(

How do you feel about this part?
Sedih gasih :(

Semoga suka yaaa!

See you di PART 42 😊

[TGS 3] SHENNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang