Follow Instagram & Wattpad @ayawidjaja dulu biar halal bacanya
There's thunder inside me
That your silence will kill me
And I know that you force me
To get rid of what I feel
(We Belong to the Sea—Vangaboys)
~oOo~
Kediamanmu membunuhku
~oOo~
Raven duduk di ayunan panjang di taman rumahnya. Benda itu mengeluarkan derit dan aroma khas karat belasan tahun. Tidak pernah ada yang peduli atau mencoba menghitung kapan terakhir kali benda itu digunakan. Dulu, Raven akan duduk di satu sisi, sementara Scarlet duduk dipangkuan ibu mereka di sisi yang lain. Raven asyik dengan mainan robot dan Scarlet dengan boneka princess kesayangannya.
Hujan sudah lama berhenti. Genangan air di bawah ayunan menciptakan refleksi pepohonan juga bayangan Raven. Mobil asing itu sudah pergi dari halaman rumahnya. Itu berarti, ibunya juga sudah pergi. Walau begitu, Raven belum ingin beranjak masuk ke rumah.
"Papa pikir, kamu sudah ikut dengan mamamu." Suara Reno sarat keterkejutan. Derit ayunan membuatnya keluar rumah dan mendapati putranya sedang duduk seorang diri.
Suara Reno tidak membuat Raven menoleh untuk sekedar menatap ayahnya. Dia mengulum senyum yang ditujukan untuk dirinya sendiri. "Saya nggak akan pergi."
"Kenapa?"
"Apa Papa benar-benar mau saya pergi?"
Reno terdiam sesaat. "Bukannya kamu sudah menunggu lama kesempatan ini? Menunggu saat yang tepat sampai Papa lengah dan pergi seperti halnya Mamamu dan Scarlet."
Raven mengdengkus. "Mungkin itu akan terjadi kalau saya tidak tahu bahwa mama ada dibalik rencana kepergian Scarlet." Sesak kembali memenuhi dada Raven. Dia mengingat dengan jelas rasa sakit yang dia tuai ketika mengetahui bahwa Scarlet diam-diam mengetahui keberadaan ibunya. Dia masih merasakan perihnya kenyataan bahwa rindu dan penantiannya tidak berbuah manis seperti impian.
Reno menatap kejauhan dengan wajah lelah. Raven menoleh untuk menatap Reno yang berdiri di teras dengan tangan berlipat. Tatapan sendu Raven dan Reno bertemu. Raven menarik tatapannya dan melemparnya kembali jauh-jauh.
"Papa nggak akan menghalangi kalau kamu mau pergi." Reno sudah melangkah kembali menuju rumah.
"Sudah saya bilang saya nggak akan pergi!" Suara Raven naik satu oktaf. Dadanya naik turun. Jantungnya diremas rasa sakit. Apa dia ini seperti sampah daur ulang yang dipungut karena terlihat berharga, padahal sebelumnya dicampakkan begitu saja?
Langkah Reno masuk ke rumah terhenti. Dia terkejut Raven bicara keras padanya.
"Papa pukul saya sampai mati pun, saya nggak akan pergi."
Wajah Reno memanas. Tangannya mengepal teringat perbuatan kasarnya pada Raven, Scarlet bahkan istrinya. "Ya, Papa memang tidak pernah memperlakukan kalian dengan baik. Kalau kamu sama mamamu, dia pasti akan memperlakukanmu dengan baik."
"Papa baik." Raven tercekat kata-katanya sendiri. Gumpalan sesak di rongga dadanya semakin padat hingga memenuhi tenggorokan. "Kecuali suka bersikap kasar, Papa sangat baik." Mata Raven terasa basah. Dia sudah lama menyimpan ini dan tidak tahu kapan harus mengungkapkannya. Mungkin hari ini. "Nggak pernah ninggalin saya dan Scarlet, bekerja keras untuk kami, peduli pada kami dengan cara Papa sendiri, menjaga kami, dan ..." yang terakhir adalah yang terberat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hellove [SUDAH TERBIT]
Teen FictionSienna Fazura Aileen dijebak menggantikan Wakil Sekretaris OSIS yang mengundurkan diri. Baru sehari menjabat, Sienna sudah mencium ketidakberesan dalam diri ketua OSIS-nya, Raven Kresna Amarta. Bagaimana tidak, tugas utamanya adalah MENCATAT BIODATA...