Gita
Ini adalah hari ke empat kami di Maldives, tapi tetap tidak ada perubahan dari Kak Dion. Dia tetap dingin dan ketus. Jika aku menanyakan sesuatu, dia hanya menjawab seadanya, paling banyak dua kata. Jadi jika kalian bertanya apa yang kami lakukan di sini, aku hanya bisa menjawab kami tidak melakukan apapun. Literally, dan ini menyakitkan ternyata.
Meskipun kami tidur dalam satu ranjang namun Kak Dion sama sekali tidak menyentuhku, aku bingung harus berbuat apa. Ah dasar Gita yang malang. Eh tapi aku tidak boleh menyerah untuk mendapatkan kebahagiaanku. Hanya ini satu-satunya cara, hanya pernikahan ini. Selagi aku melamun melihat desiran ombak di pasir putih itu, Kak Dion memanggilku.
"Git, siap-siap kita pulang", katanya sambil menata pakaiannya dalam koper
"pulang? Lho bukannya kita di sini seminggu?"
"aku ada pekerjaan mendesak"
Huh, hembusan nafas panjang mengalir dari hidung dan mulutku. Ah, mungkin lebih baik memang kami pulang daripada di sini tidak ada perkembangan. Aku mulai berkemas, tidak banyak bawaanku jadi tidak terlalu lama untuk merapikannya.
Kami menuju airport Male dan pesawat jet pribadi sudah menunggu kami. Aku masuk ke dalam pesawat diikuti oleh Kak Dion. Sepuluh menit kemudian, pesawat kami sudah terbang. Aku melirik Kak Dion di sebelahku, dia sedang membaca tabloid yang tersedia di pesawat. Rasanya aku ingin sekali menanyakan sesuatu padanya, tapi aku takut jika Kak Dion marah.
"Kak "
"apa?"
"kenapa kak Dion seperti ini?"
"seperti ini gimana?"
"Kak Dion nggak suka sama aku?"
"kenapa kamu nanya kaya gitu?"
"Kak Dion nggak nyentuh aku"
"Gita denger aku baik-baik, aku Cuma ngasih tahu kamu sekali. Aku memang menerima perjodohan ini dan kita akan tinggal di satu atap, tapi jangan berharap lebih dariku"
Mendengar ucapan Kak Dion, aku hanya bisa diam mematung. Tidak ada air mata yang keluar, tapi hati ini rasanya sakit, teramat sakit. Jadi, apakah kebahagiaan yang aku perjuangkan bertepuk sebelah tangan?
Dion
Sebenarnya aku merasa bersalah karena telah mengatakan kalimat seperti tadi di pesawat. Aku pasti telah menyakiti hatinya. Apakah aku harus minta maaf?
Kami langsung menuju apertemenku yang letaknya di tengah ibukota. Gita masih diam, aku kira dia akan menangis atau pergi meninggalkanku saat keluar dari bandara tapi ternyata hatinya masih tegar mendengar ucapanku tadi.
Setelah sampai di depan pintu apartemen, aku mengetikkan sebuah password. "ini passwordnya, kamu inget-inget ya", ku lihat Gita mengangguk sambil mengamati tombol nomor yang kutekan.
"silahkan masuk Git, maaf aku belum bisa beliin kamu rumah, sementara kita tinggal di sini", lagi-lagi GIta hanya mengangguk.
"aku bukannya nggak bisa beli rumah, tapi aku sudah nyaman tinggal di sini",
"nggak apa-apa kak, apartemen ini juga pas buat kita berdua", ya tentu saja ini pas buat kamu, sebuah apartemen VIP yang hanya orang-orang tertentu bisa membelinya. Dan kamu pasti senang bukan kepalang bisa tinggal di sini.
"di sini ada dua kamar, tapi yang satunya sudah jadi tempat kerja, kamar kita ada di sana", aku menunjukkan letak kamar yang tidak jauh dari living room, sebelah kamar itu adalah ruang kerja. Sebenarnya aku jarang menggunakannya karena lebih sering lembur di kantor, tapi ada banyak berkas penting yang tidak mungkin disimpan di dalam kamar, terlalu banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
WILL YOU LEAVE ME?
RomanceAttention!! Mengandung unsur dewasa baik adegan atau konfliknya. Bijak dalam membaca Cerita singkat mengisahkan seorang wanita yang intorvert yang tidak bisa memberitahukan isi hatinya karena dibayang-bayangi oleh kejadian di masa lalu. Dia akhir...