Gita
Hari Sabtu aku sudah berada di rumah orang tuaku, di sana sudah ada Kak Andri yang menyambutku. Bahagia sekali rasanya bisa bertemu dengan Kak Andri meskipun sebenarnya aku enggan pulang ke rumah. Kami berbicara banyak tentang hal-hal yang sebenarnya tidak penting seperti apakah Kak Andri pernah ditemui hantu Kuyang di Kalimantan dan bagaimana cara membawa truk besar ke dalam hutan. Tapi obrolan itu yang membuat suasana jadi hangat mengingat sebenarnya aku juga tidak dekat dengan Kak Andri."Jadi kak Andri betah kerja di sana? oh iya Kakak pasti betah kan itu memang sesuai dengan cita-cita kakak"
"benar, kakak betah di sana. Apalagi sebenarnya kakak bekerja di sana untuk adik kakak ini"
"kenapa?"
"Kakak tahu kamu sangat tertekan selama ini, kakak pengen buat kamu bahagia. Dengan kerja kaya gini sebenarnya kakak berharap bisa membantumu untuk bisa meraih apa yang kamu inginkan"
"serius?" Tanyaku tak percaya
"serius. tapi kamu malah nikah duluan. Tapi kamu sekarang udah bahagia kan git?"
Kalau di depanku ada kaca pasti aku bisa melihat bagaimana wajahku sekarang yang menahan keluarnya air mata dari asalnya. Kenapa? Kenapa baru sekarang Kak Andri menanyakan hal itu? Kenapa tidak sejak dulu saat aku terpaksa harus berhenti menggambar, saat aku harus mengambil jurusan kuliah yang tidak ku inginkan dan saat aku harus menikah. Kenapa baru sekarang, dia, orang yang harusnya paling mengerti aku, menanyakan apakah aku bahagia?
"ayo makan siang dulu, Ibu udah masak kesukaan kamu lho", Belum sempat aku melanjutkan obrolan tadi, Ibu memanggil kami untuk makan siang dan kami pun menurut saja menuju meja makan.
Ah, rasanya sudah lama sekali aku tidak makan masakan Ibu. Eh tapi apa ini, katanya Ibu sudah membuat masakan kesukaan kami?
"Bu, kok ibu nggak masak makanan kesukaanku juga sih?" tanyaku yang melihat di atas meja hanya ada gulai ayam kampung dan sayuran lainnya, yang jelas setahu aku itu adalah makanan kesukaan Kak Andri bukan aku.
"Ah, maaf git tadi Ibu lupa nggak belanja bahannya. Besok ya?" Lagi-lagi seperti ini, sudah biasa. Setiap hari Ibu selalu masak apa yang diinginkan Kak Andri tapi mengabaikan apa yang aku sukai.
"Kamu makan sayuran yang banyak, biar cepet isi. Udah enam bulan lho kamu nikah", Setumpuk sayuran hijau rebus datang ke arahku, aku mendengus sebal. Sebenarnya aku sudah menduga bahwa ini akan terjadi, pertanyaan konyol itu pasti akan dilontarkan oleh orang tuaku. Tanpa basa-basi aku melahap semua sayuran rebus itu, aku tidak berminat untuk mencicipi menu lainnya karena aku memang suka makan sayuran rebus sih.
"Tadi ibu juga beli jamu git, biar kamu subur dan cepet dibuahi"
"Ibu nggak usah lebay deh, kita doain aja supaya Gita cepet dikasih momongan. Gita pasti udah berusaha kok", Kak Andri menimpali
"Dion jangan dibiarin terlalu sibuk sama kerjaannya git, kalo dia kecapekan spermanya nggak bagus",
"Ah iya kalau aku stress juga sel telurku nggak bagus", entah dari mana asalnya tapi aku bisa melontarkan kata-kata itu, biasanya aku lebih memilih diam.
"Lagi pula ngapain kamu stress, kan kamu nggak kerja juga, hidup terjamin, masih dapat uang bulanan lagi."
"Ibu minta uang bulanan juga?" tanyaku yang geli mendengar pernyatannya tadi
"nggak lah git, tapi kalau kamu mau ngasih, ibu nggak nolak hehehe"
Aku menatap sayuran rebus di depanku. Rasanya enak. Lebih enak dari apa yang ada di fikiranku saat ini. Andai saja Ibu tahu kalau aku memang benar-benar stres, masih bagus aku nggak gila. Bagaimana jika aku memberitahunya kalau selama enam bulan ini aku hanya melakukan hubungan suami istri satu kali, dan itu juga karena Kak Dion mabuk. Kalau aku benar-benar memberitahunya, apa yang akan terjadi?
KAMU SEDANG MEMBACA
WILL YOU LEAVE ME?
RomanceAttention!! Mengandung unsur dewasa baik adegan atau konfliknya. Bijak dalam membaca Cerita singkat mengisahkan seorang wanita yang intorvert yang tidak bisa memberitahukan isi hatinya karena dibayang-bayangi oleh kejadian di masa lalu. Dia akhir...