Reagan dibuat terkejut saat membuka pintu kamar. Hari ini merupakan jadwal keberangkatannya menuju Indonesia. Alzevin telah duduk di kasurnya, menghadap balkon. Ia menutup pintu lalu menuju balkon. Alzevin mengekor.
"Jadi, lo beneran bakal pindah?" tanya Alzevin dingin.
Reagan tahu, sahabatnya pasti terluka. Alzevin baginya sudah seperti seorang adik. Ia yang selalu mengobati setiap luka yang timbul karena ulah paman Zevin. Tiap kali Alzevin terluka, Reagan adalah tempatnya bersandar.
Keluarga Edd adalah tempatnya untuk pulang. Rumah yang benar-benar memberi kehangatan untuk sosok dingin sepertinya. Alzevin diterima dengan baik oleh kedua orang tua Reagan, adiknya dan seluruh orang yang bekerja di rumah ini sangat senang dengan keberadaannya. Berbanding terbalik saat ia di rumah yang sudah seperti neraka.
"Ya iya lah. Yakali nge-prank kayak konten di Menehbers Indonesia. Kan kagak," ucapnya jenaka. Berusa mencairkan suasana. Tapi, Alzevin sedang benar-benar tak ingin bercanda.
Reagan melanjutkan pembahasan dengan lebih serius. "Seperti yang udah Ayah dan Bunda sampein." Reagan menarik napas dalam. "Gue bakal pindah."
"Dan lo ninggalin gue di sini sendiri, Re." Entah itu pertanyaan atau pernyataan. Namun kalimat itu mampu membuatnya tertohok.
"Sorry, Bro. Gue nggak bisa apa-apa kalau mereka udah minta itu. Gue cuma seorang anak." Reagan menunduk.
~~~~~
Suasana bandara Internasional Jerman begitu padat. Reagan bahkan kewalahan saat tangan kanannya harus menggendong Rana, adik kecilnya yang berusia tiga tahun. Tangan kirinya menarik koper dan ransel di punggungnya.
Saat Reagan berjalan masuk seseorang memanggil dengan begitu keras.
"REAGAN!!"
Pemuda itu adalah Alzevin. Reagan pikir Alzevin benar-benar tak ingin mengantarkannya sampai bandara. Tapi, ia tahu sahabatnya tak seperti itu.
Reagan dapat melihat sorot kesedihan terpancar di wajah sahabatnya meskipun ekspresi yang di berikan begitu datar.
Alzevin menghampiri Reagan.
"Gue bakal ikut kalian ke Indonesia."
Reagan membulatkan matanya. Ucapan gila yang dilontarkan sahabat kulkasnya itu, dia berkata begitu tanpa membawa satupun barang kecuali yang melekat di tubuhnya saat ini. Ya, Reagan maklum, sahabatnya memang sedikit tidak waras.
"Lo udah gila, Zev--"
"Jangan panggil gue pake nama itu. Dia udah mati, sekarang yang ada cuma Alze." Alzevin mengucapkannya dengan nada dingin dan tatapan tajam.
Reagan melongo melihatnya. "Anjir, serem lo, Al."
Alzevin langsung acuh, mengambil alih menggendong adik kecil Reagan. Ia berjalan santai menuju Ayah dan Bunda Reagan. "Tante, Om. Alze mau ikut ke Indo ya. Udah beli tiket. Oh iya, panggilnya Alze ya bukan Zevin."
Freeya dan Bagas saling beradu tatap. "Kamu nggak becanda? Barangnya mana?"
"Motor sama laptop udah dikirimin ke Indo."
"Sisanya gimana, Ze?"
Alzevin menggedikan bahu acuh. "Beli aja." Sehabis itu, Alzevin kembali berjalan menuju Reagan. Freeya memberikan tatapan tidak percaya kepada suaminya. "Itu anak pindah negara kayak beli beras, Yah."
Bagas terbahak. "Sultan mah bebas, Bun."
Saat Alzevin ingin kembali ke Reagan yang masih mengurus koper, ia tak sengaja melihat gadis yang tengah kerepotan membawa kopernya yang super besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asgar [Completed]
Teen Fiction"Duduk, kami saudara. Berdiri, kami Raja." ASGAR, siapa sih yang tidak mengenal geng besar satu ini? Beranggotakan delapan cowok berbeda karakter, lengkap dengan kisah masing-masing. Tentang mereka yang pernah berselisih paham, saling mendukung, ber...