Klarifikasi

1.7K 189 11
                                    

"Dhit, punya lo letoy banget? Gak pernah lo kasih makan, ya?" tanya Ganesha sambil mengintip dari balik bilik di sebelahnya.

Tawa Ardhito menggelegar di penjuru toilet, kemudian dengan bangganya ia menunjuk objek yang dimaksud Ganesha. "Gini gini, gue tahan lima ronde tau!"

"Edan! Lo pernah nganu sama siapa dah?" Ganesha menyudahi kegitannya, tak lupa mengancingkan resleting celananya dan memutar kran di tempat pembuangan air kecil itu.

Masih dengan posisi yang sama, Ardhito justru sibuk menghitung dengan jari-jari tangannya sambil menerawang ke langit-langit. "Mbak-mbak kosan, tetangga sebelah, temennya abang gue, terus—"

"Sinting!" Ganesha memukul kepala Ardhito dengan gemas sekaligus jengah, ketololan Ardhito semakin hari, semakin bertambah saja. "Kena HIV tau rasa lo!"

Ardhito mengusap kepalanya beberapa kali, kemudian keduanya terdiam saat mendengar suara riuh dari arah luar. Tiba-tiba seseorang datang dengan tergesa-gesa dan mengambil posisi di sebelah kiri Ardhito. Ekspresinya tampak lega ketika berhasil menyalurkan apa yang sejak tadi ditahannya. Ardhito dan Ganesha berpandangan sejenak, kemudian Ardhito iseng mengintip barang milik cowok bernama Tian. "Buset, punya lo gede banget, Yan!"

Tian terkejut, buru-buru menyembunyikan asetnya ke dalam celananya. "Tiap hari gue olesin minyak bulus nih!"

Ganesha mengernyit bingung. "Minyak bulus bukannya buat—"

"Brisik! Gue duluan! Ada baku hantam di lapangan!" Tiar berlari meninggalkan keduanya, sedetik kemudian Ganesha langsung menarik kerah seragam Ardhito, penasaran dengan baku hantam yang dimaksud Tiar. Sementara Ardhito berusaha melepaskan cengkeraman Ganesha sambil menutup resleting celananya. "Punya gue belum dibilas, anjing!"

Ganesha abai, terus saja menarik Ardhito hingga kini keduanya sampai di tengah lapangan. Dengan gesit, mereka membelah kerumunan itu dan seketika melotot melihat pemandangan di hadapannya. Brasilia dan Raya diapit oleh Raga dan Reagan. Di sisi kiri, Alzevin dengan sorot datarnya, ditemani Rayhan. Sementara di sisi kanan ada Aksa dan Geovano. Suasana mencekam, tatapan nyalang seluruh anggota Asgar ditujukan pada dua perempuan yang terlihat gemetar.

Ganesha berbisik pada Ardhito di sebelahnya kanannya, "kayaknya bakal perang dunia ke-sepuluh nih, Dhit." Ardhito mengangguk setuju sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya dengan senyum maut. Tak sabar menantikan apa yang akan dilakukan geng Asgar terhadap dua perempuan lemah yang justru berani mengusik mereka.

"Guys, mungkin sebagian dari kalian berpikir, Asgar cuma kumpulan berandalan yang suka berbuat onar dan gak ada prestasi. Yah, kita tau, kecuali Rayhan." Reagan membuka suara, tatapannya beralih ada Rayhan di sisi kanannya. "Kita juga gak menyangkal, luka ini ...," jedanya sambil menunjuk luka lebam di wajahnya dan ke-tujuh temannya secara bergantian. "Kita dapet karena berantem sama anak-anak Deklara. Satu hal yang harus kalian tau, bukan berarti gue melakukan pembelaan, tapi, bukankah untuk mengetahui duduk perkara harus didengar pendapat dari berbagai pihak?"

Semua mengangguk, berseru pada Reagan untuk segera menjelaskan apa yang sedang terjadi. Mereka tak peduli jika sebentar lagi pelajaran ketiga akan dimulai, karena pesona anggota Asgar lebih menarik ketimbang guru-guru tua yang mengajar mereka. Tentunya, ini pendapat siswi yang menyukai Asgar.

"Kita minta maaf, karena jadi contoh yang gak baik buat kalian. Tapi, manusia
tak luput dari kesalahan, kan?" Rayhan menambahi dengan aura bijaknya.

"Dua cewek itu!" Aksa menginterupsi, sambil menunjuk Brasilia dan Raya dengan sorot benci. "Mereka dalang di balik semua kerusuhan yang terjadi!"

Heboh, semua orang berbisik dan menerka apa yang telah dilakukan Brasilia dan Raya, hingga membuat Asgar marah besar. Sementara kedua perempuan yang menjadi subjek amukkan itu hanya diam dan tertunduk. Tak berani menatap lawan bicara, bahkan untuk kedip pun, mereka tak punya nyali.

"Gue minta, akuin kesalahan kalian, sekarang!" titah Raga, suaranya menggelegar, membuat semua orang bergidik mendengarnya. "Bilang ke mereka semua—" Raga menunjuk semua yang memandangnya dari ujung ke ujung. "Kalo kalian adalah penyebar fitnah yang menjelek-jelekkan Asgar!"

Suasana kembali riuh, mereka tak menyangka jika gosip yang beredar selama ini berasal dari Brasilia dan Raya. Sontak,  kedua perempuan itu disoraki untuk segera mengakui perbuatannya dan meminta maaf pada Asgar.

"Tunggu apa lagi?" Geovano menyela. "Apa perlu, gue bilang ke bokap untuk pecat kalian dari sekolah ini?" ucapan cowok berwajah baby face itu kontan membuat Brasilia dan Raya mendelik, mereka langsung menggeleng dan berharap pada si anak pemilik sekolah agar tidak melaporkan perbuatannya pada Bapak Sandi.

"G-gue ngaku salah." Raya berucap dengan gemetar, menahan takut sekaligus malu, karena yang melihatnya saat ini bukan hanya murid-murid tetapi juga guru dan jajarannya yang ikut bergabung menantikan penjelasan dari permasalahan ini. "Gue pemilik akun lambe menyor itu. Gue yang udah nyebarin hoax tentang Asgar. Gue minta maaf."

Cibiran dan hinaan terlontar, membuat Raya terisak karena merasa tak ada lagi tempat untuknya bertahan di sekolah ini. Kini, Raya menoleh ke kanan, mendapati Brasilia yang terus saja tertunduk tanpa mengucap sepatah kata. "Tapi, semua itu gue lakuin atas perintah Brasilia!"

Brasilia menatap Raya, tak percaya jika temannya kini justru berbalik menyerangnya. Raut wajahnya terlihat sangat marah, sekaligus menahan malu. Reputasinya sebagai the most wanted girl in Galasta Highschool hancur. Brasilia memberanikan diri menatap ke depan, seluruh mata memandangnya dengan sorot benci dan jijik. Sedetik kemudian, air mata menetes di pipi mulus gadis itu.

Alzevin yang sedari tadi diam, kini angkat bicara. "Bapak dan Ibu guru yang mendengar pernyataan ini, kami mohon kebijakan kalian untuk menghukum Brasilia dan Raya atas perbuatan mereka yang telah mencoreng nama baik kami."

Semua orang ternganga, mendengar kalimat sepanjang rel kereta yang baru saja diucapkan Alzevin. Bu Pratiwi, selaku guru BK, langsung menggiring Brasilia dan Raya ke ruangannya, diikuti beberapa guru yang menyusul di belakangnya. Kini, kerumunan telah bubar, menyisakan ke-delapan anggota Asgar saja.

Reagan menepuk pundak Raga, berusaha meredamkan amarah cowok itu. "Masalah udah clear, sekarang kita bisa fokus menjalani hidup dengan tenang," ujarnya, semua mrngangguk setuju.

"Guys, lusa kan kita ujian kenaikkan kelas, setelah itu gue mau adain party, kalian setuju gak?" ajak Geovano sambil menatap teman-temannya dengan kedua alis yang dinaik turunkan. "Anggap aja ajang pengakraban sama temen-temen lainnya."

"Kalo ada makanan gratis mah, gue ikut aja!" Ardhito menyahut, dirangkulnya Geovano di sebelahnya.

Rayhan mencibir sambil memutar kedua bola matanya. "Ya elah, Pan, ujian aja belum, udah mikir party aja."

"Ya elah, Ray, lo lupa? Si Opan mah gak usah belajar juga bakal naik kelas! The power of bokap dia gitu loh!" Ganesha menceletuk, kontan ia mengaduh ketika kepalanya dijitak cukup keras oleh Geovano. "Ngawur!" 

"I'm in." Raga membuka suara sambil menggulung lengan blazzer-nya. "Gue butuh hiburan."

"Kalo Bang Aga ikut, Ganesh juga ikut!" Ganesha berteriak kegirangan, seperti anak umur lima tahun yang mendapat permen cokelat.

"Deal! Waktu dan tempat gue yang tentuin." Geovano menatap bahagia pada mereka, sedetik kemudian senyum terulas di bibirnya. "Bawa pacar masing-masing, juga boleh!"

🍭🍭🍭

Asgar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang