Lambe Menyor?

2.2K 230 39
                                    

Insiden tempo hari tak lantas membuat ke-delapan cowok ganteng ini (kecuali Ardhito) gentar. Justru dari kejadian itulah mereka jadi punya topik untuk teman nongkrong—entah dibuat lelucon, atau sebagai objek hujatan. Seperti biasa, Ardhito yang paling getol melawak mulai memelesetkan nama Deklara menjadi Deklamasi, lalu ditimpali bacaan puisi yang dia karang sendiri—dan tentunya asal-asalan.

“Kepin ... tampan wajahmu tak setampan kelakuanmu.” Ke-enam temannya kontan tergelak.

“Oh, Kepin ... keren gayamu tak sekeren otakmu.”

Lagi, personel ASGAR yang lain tergelak geli, bahkan Rayhan yang hobinya marah-marah mendadak ketawa-ketiwi, bikin cewek-cewek yang naksir doi jadi histeris.

“Ribuan purnama, ratusan kartika ...” Jeda, cowok yang sengaja mengikat dahinya menggunakan dasi itu, melempar fokus ke arah teman-temannya, dan menatap mereka dengan tampang blo’on andalannya. “Napa jadi bawa-bawa kartika?”

“Lah, pan lu sendiri yang ngemeng, burik!” dengkus Reagan, gemas.

Ardhito menggaruk kepalanya yang tak gatal—sejurus dengan celotehan Ganesha yang sontak menarik seluruh perhatian. “Lambe Menyor.” Dia mengeja salah satu akun yang baru saja mengikutinya di Instagram sambil mengerutkan dahi, lalu berpaling memandang teman satu geng-nya secara bergantian. “Ada yang tahu?”

“Lihat!” Geovano mendekat, menilik layar ponsel, diikuti Ardhito lantas teman-teman yang lain, sebelum Rayhan angkat bicara. “Ck, paling orang iseng. Kayak nggak tahu people zaman now aja.”

Anggukan setuju diberikan Aksa dan Raga.

“Udahlah, dangdutan aja, kuy!” ajak Ardhito, kembali unjuk gaya; naik ke atas meja lalu mendendangkan sebuah lagu dari Happy Asmara, didukung seantero kantin—meski nggak semuanya paham, tapi tetep ikut joget—biar rame, selagi Ganesha sibuk men-scroll akun Lambe Menyor yang baru saja mengikutinya.

Jiwa keponya menguar ketika foto Raga terpampang di salah satu postingannya dengan dibubuhi caption simbol finger heart, dan di postingan tersebut dibanjiri love serta komentar yang memuji-muji ketampanan Raga.

“Nggak beres nih akun,” gumam Ganesha, menyita perhatian ke-tujuh temannya, sedang lantunan lagu Ardhito telah usai. Cowok yang kadar kewarasannya tinggal seperempat itu beranjak duduk di samping sohib kentalnya.

“Apanya yang nggak beres?” tanya Aksa, disahuti Ganesha—lengkap dengan wajah seriusnya. “Ada foto Raga di akun Lambe Menyor.” Dia menginfokan seraya menunjukkan apa yang barusan dia lihat.

Ke-tujuh temannya spontan melotot, tapi sedetik kemudian diredam oleh reaksi Aksa. “Fans paling. Jangan lebay!” Tangan kanannya dikibaskan tak acuh, sementara ia menyulihkan fokusnya ke arah Raga, dan sang objek tampak mengernyit, tapi berusaha untuk tidak peduli.

“Cogan mah gitu, nyet. Pensnya bertebaran. Nggak kayak lu; utangnya bertebaran!” ledekan Ardhito menimbulkan gelak tawa seisi kantin, kecuali Ganesha yang langsung berdalih, “Kan gue ngutangnya bareng elu!”

“Iya, tah?” cengir Ardhito, disambut toyoran gemas dari Reagan dan Rayhan. Praktis yang ditoyor cemberut. “Sempak kelen!”

“Udah, sih ...” Geovano menengahi, menepuk-nepuk bahu Ganesha yang kembali dirundung rasa penasaran. “Mungkin itu salah satu fans-nya Raga, dan kita nggak boleh negatif thinking.”

“Setuju!” Rayhan sependapat, “Lagian, media sosial itu multifungsi. Lo nggak cuma dapet informasi, tapi juga bisa nyari sensasi. Contohnya nge-gaet tokoh yang punya peran penting biar viral.”

“Tapi, sori. Gue nggak sepenting itu,” elak Raga.

Sementara Aksa yang malas mendrama memilih menyibukkan diri dengan ponselnya. Toh, hidupnya udah cukup drama, muak kali menambahinya dengan drama lain.

Asgar [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang