TSA_1

361 16 0
                                    

Kulihat seorang perempuan, dengan pakaian yang serba tertutup. Sehingga hanya menampakkan mata indah miliknya. Tatapan mata yang tajam, lurus ke depan. Mengarahkan pistol yang ada ditanganya, kurasa dia sedang membidik sesuatu.

Dorr ... dorr ... dorr ...

Suara tembakannya menggelegar ditelingaku, sungguh takjub melihatnya. Namun, apakah dia tidak takut? Perempuan seorang penembak? Apakah dia seorang agent? Entahlah, penasaran atau apa. Tapi, aku ingin sekali tau tentang dirinya.

***

"Halo."

"..."

"Cari tau tentang dia, semuanya. Akan kukirim fotonya."

"..."

"Kutunggu."

"..."

Tutt ... tutt ...

Sambungan telepon kuakhiri secara sepihak, pokoknya aku harus tau siapa dia.

***

Namaku Dimas Anggreino Stemi Bharat. Biasanya aku dipanggil Dimas, namun aku lebis suka dipanggil Reino.

Umurku 20 tahun, seorang Ceo muda yang memimpin perusahaan terbesar di Asia Tenggara. Perusahaan Bharat Grup, adalah perusahaan peninggalan almarhum papaku.

Sekarang aku hanya tinggal bersama mama, karena papa meninggal sejak usiaku sekitar 14 tahun. Aku adalah anak tunggal dari pasangan Hartono Stemi Bharat dan Afaniya Dwi Stemi Bharat.

***
"Ini, pak. Semua informasi tentang gadis itu, namun hanya sedikit yang kami dapatkan," ujar seseorang memberikan map biru.

"Kenapa hanya segini?" tanyaku kesel.

"Maaf, pak. Sangat sulit mendapatkan informasi tentangnya. Semua identitasnya sangat dirahasiakan dari publik, namun menurut informasi yang kami dapatkan, dia adalah seorang Agent rahasia dengan kemampuan menembak jitu." Jelas orang itu kemudian berlalu pergi.

"Baiklah, kalau mereka tidak bisa mendapatkan informasi tentangmu. Maka aku sendiri yang akan mencarinya," gumamku tersenyum.

Akupun keluar dari kantor, lalu menuju mobil. Hari ini, sengajaku pulang cepat untuk menemui mama.

Semenjak papa meninggal, akulah yang harus mengelola perusahaan. Sehingga, kadang tidak pulang berhari-hari.

***
"Assalamualaikum, Ma!" seruku memasuki rumah.

"Wa'alaikum salam. Kamu pulang, Nak?" tanya mama langsung memelukku dengan terharu.

"Maaf, ma. Reino jarang menghabiskan waktu bersama mama," ujarku membalas pelukannya.

"Tidak apa-apa, Nak. Lagi pula, mama juga mengerti tugasmu," ucapnya melepas pelukannya.

Kukecup lama kening wanita yang telah melahirkanku itu, sungguh ada rasa bersalah padanya.

Ia lalu mengajakku duduk.

"Nak, kapan kamu nikah? Sekarang umur kamu itu sudah cocok untuk berumah tangga," ujarnya.

Kaget, ya kagetlah. Mendengar pertanyaan mama. Kapan nikah? Akupun tak tau, lagi pula aku belum punya calon.

"Ma, bisa kita bicarakan yang lain?" tanyaku dengan raut wajah memelas.

"Nak, kamu ngga kasihan apa, sama mama? Mama, itu ingin sekali gendong cucu. Lagi pula, umur mama ngga aka lama lagi...," lirihnya.

"Mama ngomong apa, sih?" ucapku agak kesal.

Ku tahu memang, waktu mama sudah tidak banyak lagi. Akibat kanker otak yang sudah stadium akhir, tapi apa perlu dia mengucapkan kata itu?

"Reino akan nikah, ma. Tapi, ngga sekarang." Sambungku memberi pengertian.

"Terus, kapan Rein?" tanyanya lagi.

"Hmm, secepatnya ma. Mama sabar ya," ujarku mencium tangannya.

Mama hanya mengangguk, pertanda paham.

"Sabar ya, ma. Kalau Rein udah tau tentang dia, akan Rein lamar langsung." Kataku membatin.

The Secret Agent (On-Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang