TSA_5

106 10 0
                                    

Hari demi hari berlalu begitu cepat, hingga tak terasa pernikahanku akan dilaksanakan besok. Ada rasa gugup, canggung, senang dan bahagia bercampur jadi satu. Udah kayak cendol aja.

"Ciee, anak mama udah mau nikah, nih. Jangan lupa buatin mama cucu," ujar mama terkekeh.

"Ya ampun, ma. Belum juga nikah, udah disuruh buat cucu aja."

"Udah, nggak usah malu-malu. Mama juga pernah muda kali," ujarnya lagi menepuk pundakku.

"Ma, apa aku nggak salah, ya? Udah maksain kehendak sama dia, 'kan aku nggak tau, apakah dia punya kekasih atau tidak." Aku merasa bersalah.

"Kalau memang dia punya kekasih, kenapa dia mau nerima lamaran kamu, nak?"

Mama ada benarnya juga, kalau dia memang punya kekasih pasti nggak bakalan diterima lamaranku.

"Iya juga, ya ma."

"Itu kamu ngerti, udah cepat habisin sarapanmu. Lalu pergi ke kantor," perintahnya seolah-olah ngusir.

"Jadi, ceritanya ngusir nih?" tanyaku pura-pura sedih.

"Kalau iya, kenapa? Lagian kamu 'kan sudah mau berumah tangga, jadi kamu akan punya rumah sendiri."

"Kenapa nggak boleh tinggal di sini, ma?" tanyaku bingung.

"Ya, biar lebih leluasa gitu buatin mama cucu," ucapnya tertawa.

"Mama," rengekku seperti anak kecil.

"Udah, nggak usah nangis. Lagian udah mau punya istri, masih aja manja. Emang nggak malu apa?"

"Bialin, sama mama juga 'kan?" ucapku seperti anak kecil, mama yang melihat itu langsung menjewer telingaku.

"Ampun, ma. Ampun," pintaku.

"Masih mau nakal, hum?"

"Nggak, ampun!" seruku.

Karena asyik bercanda dengan mama, sampai tidak sadar bahwa dari tadi ada yang memperhatikan sambil tertawa kecil.

"Hmmm," dehemnya yang membuatku dan mama menoleh ke sumber suara itu.

"Eh, nak Fatiah." Mama menghampirinya.

"Iya Tan, assalamualaikum." Sahut tersenyum.

"Wa'alaikum salam," jawab kami barengan.

"Ngapain dek, pagi udah ke sini? Kangen ya?" tanyaku terkekeh.

"Oh, itu kak. Bunda tadi nyuruh aku buat jemput kakak. Katanya kita harus ke butik untuk cobain bajunya," jelasnya, "Soal kangen ... mungkin sedikit."

Setelah mengatakan hal itu, ia lalu tersenyum ke arahku. Kalau setiap hari setelah menikah, dia tersenyum semanis itu setiap hari, bisa-bisa aku kena diabetes melitus.

"Manis," ucapku tanpa sadar.

"Habis makan gula ya, kak?" tanya Fatiah.

"Eh, nggak kok." Aku gelagapan mendengar pertanyaannya.

"Ya udah, nak. Sebaiknya kalian pergi sekarang, kasian lho orang di butik. Pasti nungguin kalian," ucap mama.

"Iya, ma. Kalau begitu kami berangkat dulu, ya." Aku pamit dan menyalami mama.

"Permisi Tan, assalamualaikum," ucapnya juga menyalami mama.

"Wa'alaikum salam, hati-hati Rein. Jangan ngebut-ngebut," ujar mama memperingatkan.

"Iya, Ma!" sahutku sambil berteriak.

Pasalnya aku sudah berada di gerbang rumah.

***

Sekarang kami sudah tiba di butik, lalu aku dan dia pun segera turun dari mobil.

"Yuk, masuk kak!" ajaknya.

"Iya, yuk."

Kami pun memasuki butik itu beriringan, semua pengunjung yang ada di sana menatap kepada kami.

"Serasi banget."

"Cantik dan gantengnya cocok."

"So sweet, jadi pengen deh."

Mungkin itulah beberapa kata yang kudengar, tapi aku tak memperdulikannya. Aku hanya fokus kepada gadis yang berada di sampingku ini.

"Permisi, Mbak." Sapanya pada seorang wanita.

"Iya, ada yang bisa saya bantu?" tanya wanita itu.

"Saya Fatiah, bu. Anaknya ibu Hana," ucapnya memperkenalkan diri.

"O iya, mau ambil baju pengantinnya, ya?" tanyanya.

"Iya, mbak." Sahut Fatiah.

"Bentar ya, saya ambilkan. Silahkan duduk," ucapnya ramah.

Aku dan Fatiah pun duduk, sambil menunggu wanita tadi. Hening pun terasa antara aku dan dia, tak ada pembicaraan. Lama menunggu, akhirnya wanita itu datang juga.

"Ini mbak, mas. Cobain aja dulu, dan ruang gantinya ada di sebelah sana," ucapnya menunjuk ruangan dipojok kiri butik itu.

Tak berselang lama kemudian, aku dan dia keluar menggunakan pakaian itu.

"Cantik." Satu kata yang cocok untuk menggambarkan dirinya saat ini.

"Kak, gimana? Bagus nggak?" tanyanya membuyarkan lamunanku.

"Iya dek, cantik dan pas dikamu. Cocok deh," ucapku jujur.

"Kakak juga, tampan."

Deg..

Jantungku sudah seperti kuda, berlari ke sana-kemari.

The Secret Agent (On-Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang