TSA_21

98 7 2
                                    

Di perjalanan pulang, senyumku tak pernah pudar. Bahagia, tentu saja. Beberapa saat lagi, ia akan menjadi milikku seutuhnya. Tapi yang masih mengganggu pikiranku adalah, apakah aku sudah mencintainya atau belum? Kenapa perasaanku sendiri tidak menentu seperti ini?

Oh, ayolah Reino! Semua itu tentu akan butuh proses dan waktu, tidak semudah membalik telapak tangan bukan?

"Kak?"

"Iya, ada apa?"

"Kakak masih marah sama Fatiah?"

"Marah? Untuk apa?"

"Kak ... emm .... Fatiah pengen ngomong serius sama kakak."

"Ngomong aja, kakak dengerin kok!"

Dia menghembuskan napas, lalu menatapku. Karena matanya menyiratkan keseriusan dan kekhawatiran, mobil pun segera kutepikan.

Berbalik dan menatapnya.

"Ada apa sih? Kok kamu kelihatan tegang gini? Kenapa sayang?" tanyaku sembari mengusap lembut kepalanya yang ditutupi hijab.

"Sebelumnya Fatiah minta maaf sama kakak, karena dari awal sudah tidak jujur sama kakak dan keluarga."

"Maksud kamu apa?"

"Fatiah itu sebenarnya---." Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, suara tembakan dari arah belakang terdengar begitu keras.

Dorr

Dorr

'Ya Allah, apalagi ini?'

"Kakak tunggu di sini, Fatiah akan nge-cek siapa mereka," ujarnya keluar dari dalam mobil.

"Fat--, ah sial!" umpatku membanting stir mobil.

Aku pun keluar dan menghampirinya, namun orang-orang itu sudah tidak ada lagi.

"Mereka siapa?"

"Eh, Kakak? Me-mereka ... bukan siapa-siapa kok," jawabnya agak gugup.

"Sekarang jujur sama kakak, Fatiah! Sebenarnya apa hubungan mereka denganmu? Kenapa setiap kita bersama, mereka selalu neror kita!?"

Dia terperanjat kaget, serta takut akibat intonasi suaraku yang mulai meninggi. Kuusap wajah kasar, lalu mendekati dan mendekapnya.

"Maafin kakak," lirihku.

"Eng-gak pa-pa, kakak nggak salah kok."

"Sekarang kita pulang!"

Ia hanya mengangguk pertanda setuju, entah kenapa aku merasa bersalah. Tapi, aku sangat khawatir padanya. Makanya sikapku begitu.

***

Pov Fatiah.

"Kak, sebenarnya Fatiah Agency khusus dan Fatiah juga komandan diangkatan bersenjata," jelasku menunduk.

"Kenapa dari awal kamu enggak bilang, Dek? Kakak kecewa sama kamu, kecewa!"

"Ma-maaf, maafin Fatiah. Fatiah nggak bermaksud--." Aku sudah tak sanggup meneruskan kalimat itu. Lidahku terasa kelu, bahkan air mataku juga mulai membasahi cadar yang kukenakan.

"Terus maksud kamu apa, Dek!?"

"Fatiah cum--." Lagi-lagi kalimatku terpotong olehnya.

"Cuma apa? Kamu sudah bohongin kakak, dan kau tau. Sakit dek, sakit ... kalo memang kamu tidak pernah percaya padaku, kenapa harus menerima lamaranku kala itu?"

Matanya kini memandang lurus ke depan, dengan tatapan kosong. Tiba-tiba aku memeluknya dari samping.

"Fatiah tidak bermaksud menipu atau pun membohongi kakak, Fatiah cuma pengen kakak selamat dan tidak terlibat dalam masalah. Itu aja ... hiks ... hiks ...."

"Sudahlah, Dek. Aku memang tidak pantas untukmu, besok akan kukembalikan dirimu pada kedua orang tuamu. Secepatnya aku juga akan mengurus perpisahan kita," ujarnya membuatku terbelalak.

"Pisah?"

"Iya, untuk apa mempertahankan hubungan ini jika didalamnya tidak ada kepercayaan. Lagi pula, aku tidak ingin memaksamu tuk hidup bersamaku." Setelah mengatakan itu, ia melepaskan pelukanku dan pergi.

"Hiks ... Kak! Jangan tinggalin Fatiah," ucapku mengejarnya.

"Fatiah mohon kak, jangan pergi! Fatiah janji, akan keluar dari pekerjaan itu." Aku memohon dengan memegang kedua kakinya.

Dia membungkuk, dan membantuku berdiri.

"Sudahlah, sebaiknya kamu mempersiapkan segala barang-barangmu untuk kembali ke rumahmu besok. Tapi jika kau masih kekeh untuk tinggal disini, itu tidak mengapa."

Mataku langsung berbinar mendengar penjelasannya.

"Tapi jangan salahkan, jika aku membawa wanita lain dan menyakiti hatimu. Kau akan tetap tinggal disini, dan kau juga akan tetap mendapatkan nafkah lahir dariku, tapi tidak denganku nafkah batin. Itu syarat jika kau tidak ingin berpisah, satu lagi. Jangan sampai keluargaku ataupun keluargamu tau masalah ini."

Entah apa yang terjadi? Sikapnya berubah dingin, dan terkesan tak peduli dengan ratapanku. Namun bukan itu yang membuat hatiku hancur berkeping, melainkan perkataannya.

"Tapi jangan salahkan, jika aku membawa wanita lain dan menyakiti hatimu."

Kalimat itu terus tergiang ditelingaku, rasanya dunia kini berhenti berputar. Bahkan napasku naik-turun, menahan sakit yang teramat sakit.

"Kak ...," lirihku.

Pov end.
________

To be continued.
Sedih bat guys, ampe Author sendiri nangis ngetiknya. Gimana ya nasib pernikahan mereka? Apakah tidak ada harapan untuk kembali membaik?

Nantikan kelanjutannya...

😴😴😢😢😭😭

The Secret Agent (On-Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang