TSA_17

97 8 0
                                    

Hari-hari berlalu begitu cepat, mengurangi kesedihan sedikit demi sedikit. Lembaran baru kini terbuka, menceritakan kisah baru tentang sepasang kekasih halal. Meski kata cinta tak pernah terucap, namun kebahagiaan selalu ada diantara kami.

Hari ini aku kembali bekerja seperti biasa, dan ia juga mulai kembali menjalan tugas dengan misi-misi yang lebih ringan. Alasan dibalik semua itu adalah karena ia ingin lebih banyak menghabiskan waktu denganku.

Tentu saja hal itu kusambut baik, apalagi ini moment yang cocok untuk kami saling mengenal lebih dalam lagi. Oiya, sekarang kami sudah tinggal di rumah sendiri. Baru saja pindah kemarin. Karena baru, rumah masih terlihat kurang isi. Terlebih isi lemari pendingin, sama sekali belum ada.

"Dek, kita ke supermarket ya? Lagian bahan dapur sama sekali belum ada," ujarku dan ia hanya mengangguk.

"Tapi 'kan kakak harus ke kantor, masa mau belanja?" tanyanya.

"Ya, enggak papa. Aku 'kan bosnya, jadi tenang aja. Lagian si Bimo juga 'kan ada," jawabku santai.

"Kalo gitu tunggu apa lagi? Yuk pergi!" serunya menarik tanganku.

"Tadi aja, pura-pura nolak. Sekarang malah kebalik," ucapku terkekeh.

"Ih kakak mah, nyebalin bin ngeselin banget."

"Gini-gini kamu sayang juga 'kan?" tanyaku menaik-turunkan alisku.

Ia tidak menjawab, tapi malah membenamkan wajahnya dilenganku. Sedangkan aku hanya terkekeh melihat tingkahnya.

"Udah, enggak udah malu kali. Coba deh buka cadarnya, kakak lagi pengen lihat wajah kamu."

Ia mendongkak, menatapku dengan tatapan yang seolah bertanya 'kenapa?'

"Hm, enggak jadi. Nanti aja pas pulang dari supermarket," sambungku.

Kami lalu berjalan dengan ia mengandeng lenganku, seolah-olah aku akan dicuri orang. Sungguh istriku ini, aneh tapi nyata.

"Kak, naik motor aja ya?"

"Kenapa, Dek?"

"Enggak papa, sih. Udah lama aja enggak naik," ujarnya cengengesan.

"Emang enggak papa? 'Kan kamu pake gamis, masa iya naik motor. Kita pake mobil aja, ya?" balasku memelas.

"Kalo Fatiah bilang motor, ya motor Kak. Enggak ada tapi, atau penolakan lainnya. Fatiah tidak terima alasan," ucapnya dengan mata melotot.

Detik berikutnya, tawaku pecah kala melihatnya melotot seperti itu. Sungguh, lucu sekali.

"Hahaha, mata kamu Dek. Haha, lucu banget. Udah kayak mata penda aja," ujarku sambil memegang perut yang terasa sakit karena tertawa.

"Heheh, ketawa aja terus. Kagak usah ke supermarket, sekalian enggak kasih kakak makan. Satu lagi, enggak ada jat--."

"Ssttt, udah. Enggak usah banyak omel, entar tua baru tau rasa. 'Kan enggak lucu kalo aku yang ganteng ini punya istri tua," ujarku diakhiri kekehan.

Ia memandangku seperti elang yang ingin menerkam mangsanya, dan itu malah ingin membuatku tertawa. Tapi hal itu kutahan, takutnya dia ngamuk bagai srigala kehilangan rusa.

"Udah melototinnya, entah tuh mata malah copot. Lagian kagak ada yang jual bola mata, yang ada hanya bola kaki. Emang mau tuh mata diganti kaki?"

"Enggaklah, mata kakak aja yang diganti. Sekalian matanya juga dicuciin, supaya nggak mandang yang aneh-aneh."

Aku mengeryit, aneh? Maksudnya apa sih? Dia pikir aku ini playboy, apa?

"Udah, kita berangkat sekarang. Dari tadi ngoceh mulu kayak emak-emak yang lagi nawar sayur," ucapnya membuka pintu mobil.

"Iya," balasku cemberut.

Etss, tunggu bentar. Tadi katanya mau naik motor, kenapa malah buka pintu mobil.

"Bukannya tadi kita mau naik motor, ya?" tanyaku heran.

"Astagfirullah, gara-gara kakak nih. Fatiah jadi lupa, 'kan."

"Ya salam, apalagi salahku kali ini? Emang benar ya, cowok itu selalu salah dimata cewek. Apalagi dimata istrinya, ampun dah."

"Kak, buruan!"

Tuh orang bangsa apa sih? Baru aja ngomong disampingku, sekarang udah didepan motor. Ngeri juga lama-lama.

"Iya bentar, kakak ambil kunci motor."

Dengan segera ku berlari kedalam untuk mengambil kunci motor. Tapi, entar kusuruh si Boni mengikuti kami dari belakang. 'Kan enggak etis bawa motor sambil nentengin belajaan.

"Kak, cepat! Udah mau sore nih," ucapnya.

"Iya, sabar dong. Ini 'kan lagi ambil kunci motor," jawabku berjalan kearahnya.

"Yuk!" sambungku.

The Secret Agent (On-Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang