TSA_3

145 11 0
                                    

"Oh, baiklah tante, om. Kalau begitu, saya dan mama pulang dulu. Jika anak om setuju dengan lamaran saya, hubungi saja nomor ini." Ku berikan kartu nama padanya.

"Iya, nak. Kami akan bicarakan soal ini dengan putri kami, dan sering-seringlah main ke rumah." Kata tante Hana.

"Insya Allah, Tan. Kalau begitu kami pamit dulu," ucapku menyalami keduanya.

Mama pun bersalaman dengan tante Hana dan om Bram. Setelah itu, kami menuju mobil dan pulang. Di tengah perjalanan, tak henti-hentinya bibirku tersenyum. Mama yang melihat hal itu hanya menggelengkan kepala.

"Ciee, anak mama lagi jatuh cinta." Goda mama padaku.

"Jatuh cinta? Apa itu ma?" tanyaku dengan muka polos, sedangkan mama hanya menepuk jidatnya sendiri.

"Ya ampun, Rein. Kamu itu hidup di zaman apa, sih? Masa iya, Seorang Dimas Angreino Stemi Bharat tidak tau apa arti jatuh cinta?" ujar mama.

Aku hanya cengengesan mendengar ucapan mama, benar juga sih.

Berselang lama kemudian, kami pun telah sampai di pekarangan rumah. Mama segera turun, sedang aku memasukkan mobil ke dalam garasi.

***
Di tempat lain, kini matahari telah berganti dengan bulan, seorang gadis tengah duduk di balkon kamarnya, sambil menikmati secangkir kopi.

Tok ... tok ...

"Masuk!" perintahnya.

"Nona muda, anda dipanggil tuan ke bawah," ucap asisten rumah tangga itu.

"Iya, Bi. Bentar," ucapnya lalu beranjak dari kursinya.

Ia segera menuruni satu persatu anak tangga, melihat ayahnya menatap dirinya, ia pun mempercepat langkahnya.

"Sayang, mari sini. Ada yang ingin ayah dan bunda bicarakan," ujar bundanya, dan ia hanya menurut.

"Ada hal apa, Bunda?" tanyanya sambil mendudukkan bokongnya di sofa.

"Gini, Nak. Tadi, anak teman ayah datang ke sini," jelas bundanya perlahan, "Dia kesini, dengan tujuan ingin menjadikanmu pendampingnya."

"Terus, ayah dan bunda bilang apa?" tanya lagi.

"Ayah bilang, akan membicarakan hal ini denganmu." Kini ayahnya berbicara.

"Jadi, bagaimana pendapatmu, Nak?" tanya bundanya.

"Fatiah, terserah ayah sama bunda saja. Kalau menurut kalian dia baik, insya Allah Fatiah terima Yah, bund."

Gadis itu adalah Fatiah, dan kedua orang tuanya.

"Baiklah, Nak. Besok ayah akan membicarakan hal ini lagi dengan orang tuanya, agar secepatnya pernikahan kalian dilaksanakan." Ayah mengelus kepalanya.

***

Di tempat lain pula ....

"Ma, dia terima nggak, ya?" tanyaku.

"Insya Allah, Nak. Jika dia benar jodohmu, pasti Allah akan berikan jalan."

"O iya, Ma. Kok, kita nggak pernah tau kalau papa punya sahabat?" tanyaku lagi.

"Mama juga nggak tau, nak. Selama almarhum papamu hidup, beliau tidak pernah menceritakan hal itu. Mungkin dia lupa," jawab mamaku.

"Hmmm, kalau gitu aku ke kamar ya, Ma? Udah ngantuk banget soalnya," pamitku.

"Iya, Nak. Selamat malam," ujarnya.

"Malam, Ma." Ku kecup keningnya, lalu pergi ke kamar.

Waktu berjalan begitu cepat, hingga aku tak sadar sudah masuk waktu subuh.

Aku bangun dan menuju kamar mandi, berwudhu dan melaksanakan sholat. Setelah itu, bersiap-siap dengan rutinitas pagiku, yaitu olahraga.

Setelah 30 menit berolahraga, segera kubersihkan diri dan bersiap-siap pergi ke kantor. Kuturuni setiap anak tangga, menuju meja makan. Di sana kulihat mama sudah menyiapkan sarapan untuk kami berdua.

"Pagi, Ma!" sapaku mencium pipinya.

"Pagi Nak," balasnya, lalu memintaku duduk.

Kami pun sarapan bersama. Aku hanya memperhatikan wanita yang ada dihadapan ku, dia terlihat begitu bahagia. Seolah-olah ia tak memiliki penyakit apapun.

"Ya Allah, bisakah engkau mengangkat penyakitnya? Kumohon, berikan ia lebih banyak waktu lagi, sampai ia melihat cucu-cucunya." Doaku dalam hati.

Tanpa terasa air mataku jatuh, segera kuhapus. Aku tak mau, jika beliau melihat anaknya menangis.

"Ma, Rein berangkat dulu, ya? Assalamualaikum," pamitku, sambil mencium pucuk kepalanya dan berjalan menuju pintu.

"Iya, Nak. Hati-hati, wa'alaikum salam," balasnya.

The Secret Agent (On-Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang