TSA_4

127 11 0
                                    

Di sinilah aku, kantor. Bukannya fokus dengan berkas yang sedang menumpuk, aku malah sibuk memikirkannya. Matanya, membuatku gagal fokus. Bagaimana tidak? Tatapan matanya bagaikan elang yang ingin menerkam mangsanya.

Sungguh gadis aneh, tapi entah kenapa aku malah jatuh hati padanya. Apa ini yang namanya jatuh cinta? Tapi tidak secepat itu juga, kali.

"Permisi, Pak."

"Iya, ada apa?" tanyaku to the point.

"Ada seseorang yang ingin bertemu, katanya penting."

"Suruh masuk!" perintahku.

"Baik, Pak." Ia keluar dan memanggil orang itu.

Tok ... tok ...

"Masuk!" perintahku.

"Assalamualaikum, Kak." Suara yang asing, karena penasaran ku dongkakkan kepala.

"Iya, dek. Siapa ya?" tanyaku penasaran.

"Fatiah, lengkapnya Fatimah Bramahaniya Dwi Jodie. Kakak lupa?" tanyanya.

"Anaknya om Bram?"

"Iya, kak."

"Oh, kamu dek. Kirain siapa, silahkan duduk."

Ia pun duduk berhadapan denganku, ada rasa canggung. Entah ada apa denganku.

"Kak."

"Eh, iya. Kenapa dek?"

"Kakak ya, yang datang ke rumah tempo hari?"

"Emm, itu. Iya."

"Ngapain?"

"Duh, nih anak nanya mulu. Nggak tau apa, kalau ginjalku udah mau keluar. Lah, kok ginjal? Bukannya jantung, ya?" gumamku.

"Kak, kok malah bengong?"

"Nggak kok, nggak bengong. Tadi kamu nanya, apa?"

"Kakak ngapain datang ke rumah?"

"Untuk lamar kamu, dek." Spontan kata itu keluar dari mulutku.

"Emang kakak cinta sama, Fatiah?"

"Cinta? Entahlah, kakak hanya percaya kalau kamu itu, jodohnya kakak. Katanya cinta itu, akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Mungkin bukan sekarang, tapi nanti." Jelasku jujur.

"Hm, makasih ya, kak. Udah mau jujur," ujarnya.

"Iya, dek. Sama-sama," balasku.

"Oiya, kak. Emangnya kakak udah tau, kalau Fatiah ini agent rahasia? Apa kakak tidak takut? Nyawa lho, taruhannya."

"Semua resiko itu udah kakak tau, dan insya Allah kakak nggak takut, apapun resikonya."

"Oke, besok kakak bisa datang lagi, dan jawabannya akan Fatiah berikan besok. Assalamualaikum," ujarnya lalu keluar.

"Wa'alaikum salam," balasku.

***

"Ma, besok kita ke rumah om Bram lagi, ya?" ujarku dengan nada bertanya.

"Ngapain, nak? Bukannya mereka akan hubungin kita, kalau anaknya sudah datang?" tanya mama bingung.

"Tadi dia datang ke kantor, ma. Katanya besok kita harus datang lagi," jelasku.

"Dia? Siapa?"

"Fatiah. Anaknya om Bram," jawabku, sedang mama hanya ber'oh'ria.

"Iya, nanti kita ke sana besok. Oiya, jangan lupa, bawain sesuatu untuk mereka nanti." Mama mengingatkan.

"Iya," balasku.

***

Keesokan harinya ....

"Ma! Udah siap belum, sih?!" tanyaku berteriak.

"Iya, iya sabar. Buru-buru amat," ucap mama menuruni tangga.

"Sabar dong, jodoh nggak akan kemana," sambungnya terkekeh.

Aku hanya cengengesan, melihat mama tersenyum ke arahku.

"Yuk, berangkat!" serunya.

"Iya Ma, yuk!"

Kami pun memasuki mobil, lalu jalan menuju rumahnya. Selama di perjalanan, tak henti-hentinya aku berdoa. Semoga saja dia menerima lamaranku.

"Amin," ucap mama menatapku.

"Amin kenapa, Ma?"

"Aminin doa kamulah," jawabnya.

"Kok, mama bisa tau. Emang suaraku kedengaran, ya? Perasaan doanya dalam hati," batinku.

"Udah, nggak usah bingung gitu. Mama ini 'kan ibu kamu, jadi pasti mama tau apa yang ada didalam hatimu," jelasnya.

"Hehe, iya ma," balasku cengengesan.

Beberapa saat kemudian, kami telah sampai di depan rumahnya. Mama dan aku pun turun, kemudian menuju pintu utama.

Tok ... tok ...

"Assalamualaikum," ucap mama sambil mengetuk pintu.

"Wa'alaikum salam," balas seseorang yang berada dalam rumah.

Ia pun membukakan pintu, dan ternyata itu tante Hana.

"Eh, Nak Dimas sama mamanya, silahkan masuk," ujarnya ramah mempersilahkan kami masuk.

Aku dan mama duduk di ruang tamu, disana juga sudah ada om Bram dan Fatiah tentunya. Lalu, tante Hana pun ikut bergabung.

"Bagaimana, Pak?" tanya mama membuka pembicaraan.

"Kami setuju, tapi semua itu tergantung Fatiah-nya, Bu," jawab tante Hana.

"Gimana, Sayang? Kamu terima lamaran anak tante, nggak?" tanya mama yang kini beralih menatap gadis itu.

"Insya Allah, Bu. Fatiah terima," jawabnya tersenyum di balik cadar.

Meskipun tak melihat wajahnya, tapi aku yakin bahwa dia sedang tersenyum. Terlihat dari matanya yang menyipit.

"Alhamdulillah," ucap kami serentak.

"Baiklah nak, pernikahan kalian akan diadakan satu minggu lagi, jadi kamu siap-siap," ujar om Bram menepuk pundakku.

"Iya Om," balasku tersenyum.

"Oiya, Nak. Kamu mau apa sebagai maharmu?" tanya mama padanya.

"Bacakan saja surah Al-Fath, yang berarti kemenangan. Agar Fatiah selalu menang dalam misi," jelasnya.

"Unik, benar-benar unik. Biasanya perempuan akan meminta surah Ar-Rahman sebagai mahar, tapi dia ... sungguh unik," ucapku membatin.

The Secret Agent (On-Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang