TSA_9

99 11 0
                                    

"Ma, maafin Reino. Karena belum bisa menjadi anak yang bisa membahagiakan mama. Mama kuat ya, nggak boleh seperti ini. Aku masih butuh mama," ucapku terisak.

"Nak, ma-maaf-kan ma-ma. Ka-mu jaga di-ri baik-baik, ja-ngan lu-pa baha-giakan is-tri-mu."

Setelah mengucapkan kata itu, mama menghembuskan nafas terakhirnya.

"Mama!" teriakku histeris.

Ayah dan bunda pun masuk ke ruangan.

"Ada apa, Nak?" tanya bunda risau.

"Mama, bund. Mama ... hiks ... hiks," ucapku menangis.

"Mbak Faniya? Kenapa Nak?"

"Mama udah ... hikss ... meninggal bunda," jawabku masih terisak.

"Innalillahi wa innailaihi raji'un," ucap ayah dan bunda.

"Kamu yang sabar, Nak. Semua ini pasti ada hikmahnya," ucap ayah menenangkanku.

"Tapi Ma-...." Aku tak sanggup melanjutkan kalimatku, lidahku terasa kelu.

"Kamu yang ikhlas ya, Nak. Kamu pasti kuat hadapin semua ini," ucap ayah.

"Iya, Nak. Kami juga sedih melihat semua ini, tapi jangan sampai kita berlarut-larut dalam kesedihan. Ingatlah semua yang bernyawa pasti akan mengalami yang namanya kematian." Timpal bunda.

"Astagfirullah, maaf bunda, Yah. Aku sampai lupa hal itu," ucapku menyeka air maraku.

"Ampuni hamba ya Allah," sambungku.

Aku mulai sadar akan kesalahan, menangis seseorang itu boleh aja. Tapi jangan sampai mengucapkan sumpah serapah yang akan membuat menyesal dikemudian hari.

Mungkin, Dia lebih mencintai mama. Hingga segera memanggilnya. Kuharap, dia diberikan tempat yang layak disisi-Nya.

Surga memang belum tentu milikku, nerakamu pun bukanlah urusanku. Tapi, mengajakmu pada kebaikan adalah kewajibanku.

"Ya sudah, Nak. Kami akan membawa pulang jenazah ibumu, nanti kamu menyusul. Bunda akan tinggal di sini untuk jaga Fatiah." Jelas ayah dan aku langsung mengangguk.

Kami pun segera meminta bantuan pihak rumah sakit, untuk membawa mama menggunakan mobil ambulance ...

***

Sesampainya di rumah, jenazah mama segera diturunkan dan dibawa masuk kedalam rumah.

Para pelayat satu persatu mulai berdatangan, lalu membacakan doa juga tahlilan.

Keesokkan harinya ....

Tubuh mama mulai diangkat, dan dibawa menggunakan kendaraan terakhir beliau.

Kini tubuh mama sudah diletakkan dipembaringan terakhir, air mataku kembali luruh. Mengingat masa-masa yang kuhabiskan bersamanya, sungguh waktu yang singkat.

Tubuhnya sedikit demi sedikit mulai ditutupi oleh tanah, hingga hanya menyisakan wajah pucatnya saja. Perlahan-lahan wajah itupun mulai menghilang dari pandanganku, sampai ditancapkan-nya batu nisan.

Tertulis disana, nama wanita terhebat di dunia. Afaniya Dwi Stemi Bharat, telah berjumpa kembali dengan suami tercinta. Hartono Stemi Bharat.

Selamat jalan Ma, semoga semua amal ibadah dan kebaikanmu diterima disisi-Nya. Aku tidak akan bersedih. Karena aku tau, Dia lebih menyayangimu ketimbang diriku.

Prosesi pemakaman telah usai, dan para pelayat pun satu persatu mulai meninggalkan pemakaman, hingga menyisakan aku, ayah dan bunda. Kutaburi bunga mawar, setelah itu membacakan doa untuknya.

"Nak, mari kita pulang. Fatiah sendirian di rumah sakit," ucap bunda dan aku mengangguk pertanda iya.

Lalu, kami bergegas pulang. Tapi buka ke rumah, melainkan ke rumah sakit. Karena sudah satu hari, tapi tidak ada kabar ia akan siuman. Sungguh penderitaan apa yang telah Dia berikan untuk mengujiku?

"Tidaklah dikatakan beriman, sebelum engkau diuji."

***

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, hingga bulan pun kini berganti tahun. Sudah lebih dari satu tahun dia koma.

Selama ini, kusibukkan diri dengan pekerjaan kantor, agar tak selalu memikirkannya. Tapi, antara hati dan pikiranku tidak bisa diajak kompromi.

Beberapa bulan terakhir ini juga, kadang aku tak pulang ke rumah. Melainkan menemani wanitaku yang masih terbaring lemah, sungguh aku rindu suaranya.

Sesekali, ayah dan bunda juga berkunjung dan membawakan makanan untukku. Sebenarnya bunda beberapa kali menyarankan agar Fatiah dirawat di rumah saja, tapi hal itu kutolak. Alasannya, biar dia dirawat secara intensif oleh Dokter.

Ayah dan bunda akhirnya pasrah dengan keputusan yang kuambil, karena sekarang Fatiah adalah tanggung jawabku sepenuhnya.

Kadang kala, aku merasa putus asa dengan keadaannya. Tapi, kata-katanya terus saja tergiang ditelingaku.

"Bacakan saja surah Al-Fath, agar Fatiah selalu menang dalam misi."

Dia pasti bisa, dia kuat dan tak selemah itu. Dia istri dari Dimas Angreino Stemi Bharat, tidak akan pernah kalah. Kemenangan selau bersamanya. Kuyakin akan hal itu.

Dia juga wanita tangguh, tak mudah putus asa dan pantang menyerah. Itulah kata ayah dan bunda Fatiah.

The Secret Agent (On-Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang