TSA_20

105 7 0
                                    

"Damn it!" umpatku.

Kepalaku terasa berputar, dunia kalang kabut. Bahkan penglihatanku mulai tak jelas, ada apa ini?

"Fatiah, kamu dimana, Dek?"

Hingga menit berikutnya, aku sudah tak sadarkan diri.

Pov Fatiah.

Aku kembali ke tempat dimana Kak Reino berada, namun saat sampai di sana. Kulihat tubuhnya sudah terbaring tak sadarkan diri.

Aku selalu saja membuatnya seperti ini, membuatnya khawatir dan sebagainya. Apa sekarang aku harus jujur siapa aku sebenarnya?

Tapi, apakah mungkin dia akan tetap menerimaku?

'Bodoh, pertanyaan macam apa itu? Seharusnya sekarang kubawa kak Reino ke rumah sakit.'

Kuambil benda pipih dalam saku baju, lalu menelpon seseorang untuk segera membawakan mobil.

[Cepat bawakan mobil pribadi saya ke sini, nanti akan saya share-lock.]

Setelah itu, kubantu kak Reino agar bisa berdiri dan memapah tubuhnya ke tempat yang lebih nyaman.

Tak lama kemudian, orang itu datang membawa mobil dan aku langsung membawa kak Reino masuk dengan bantuan dari beberapa orang anak buahku.

"Cepat, jalankan mobil ini ke rumah sakit!" perintahku.

Kusandarkan kepala kak Reino dibahu, dengan memegang erat tangannya.

'Kak, maafin Fatiah ya? Setelah ini, Fatiah janji bakalan lindungi kakak dari semua masalah. Fatiah juga janji, kalo kakak enggak akan kenapa-kenapa.'

Butiran embun luruh begitu saja, dengan cepat kuhapus karena aku tak ingin orang-orang menganggapku lemah.

Beberapa saat kemudian, kami pun sampai. Orang tadi membukakan pintu dan membantuku membawa kak Reino masuk ke dalam rumah sakit.

"Ndan, saya permisi!" seru orang itu berpamitan.

Aku hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandanganku dari wajah tampan suamiku, kak Reino.

"Kak, bangun. Ini Fatiah, ayo Kak!" ucapku dengan lirih.

Saat tiba di ruang IGD, suster menghentikan langkahku.

"Maaf, Bu. Silahkan tunggu diluar!"

"Tapi, Sus. Saya ingin mendampingi suami saya."

"Maaf, Bu. Silahkan tunggu diluar!" ucapnya sekali lagi, dan aku hanya bisa pasrah lalu duduk di kursi tunggu.

Tak henti-hentinya bibirku berdoa, semoga kak Reino tidak kenapa-kenapa ya Allah.

Pov end

***

Bau obat-obatan menyeruak di seluruh sudut ruangan, dan itu adalah bau yang tidak kusuka.

Perlahan tapi pasti, mataku mulai terbuka. Melihat sosok yang kucari-cari sejak tadi duduk di sampingku, sambil memegang erat kedua tanganku.

"Dek," lirihku.

Ia mendongkak, seketika matanya langsung berbinar.

"Alhamdulillah, Kakak udah sadar. Bentar ya, Fatiah panggilin Dokter."

Aku mengangguk.

Ia pun keluar dan pergi lagi entah kemana, katanya sih manggil Dokter. Tapi sudahlah, terserah apa yang ingin dia lakukan sekarang.

Tak lama kemudian Dokter pun datang, dan kulihat dia mengekor dibelakang Dokter itu. Dengan telaten, Dokter memeriksa keadaanku.

"Bagaimana suami saya, Dok? Apakah perlu dirawat inap?" tanya Fatiah cemas.

'Kamu ini kenapa sih, Dek? Kadang-kadang aku bingung dengan tingkahmu, sebenarnya kamu itu siapa?'

"Alhamdulillah, Bu. Keadaan pak Reino tidak apa-apa, dan tidak perlu rawat inap. Hari ini juga bisa pulang," jelas Dokter itu, dan Fatiah hanya manggut-manggut.

"Kalo begitu, saya permisi." Dokter itupun lalu keluar, dan Fatiah segera mendekat kearahku.

Keheningan kini datang, semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Bahkan aku pun tak ada niat untuk membuka percakapan, hari ini ada rasa kecewa terhadapnya. Namun hal itu tidak kutunjukkan, entah sampai kapan akan begini.

"Huhuk-huk." Suara batukku memecah keheningan.

"Eh? Kakak nggak papa? Nih, minum dulu." Dia memberikan segelas air putih dan membantuku untuk minum.

"Apa masih ada yang sakit?" tanyanya.

"Entahlah," jawabku, kemudian berbaring kembali dan memejamkan mata. Agar rasa sakit itu sedikit berkurang.

"Maafin Fatiah, Kak. Maafin," lirihnya dengan suara agak serek.

Kuyakin, pasti sekarang ia sedang menangis. Kenapa hatiku tak tega, aku bahkan tak ingin melihat air matanya.

Kubuka mata, lalu mengubah posisiku menjadi duduk. Lalu merengkuh tubuhnya dalam dekapanku, memberikan ketenangan agar ia tak menangis lagi. Sesekali kukecup kepalanya yang tertutupi kerudung panjangnya.

"Udah, enggak usah nangis. Kakak enggak papa, kok. Lagian istri kakak cengeng amat," godaku dengan menarik hidungnya dibalik cadar itu.

Bukan mengaduh, ia malah semakin mempererat pelukannya hingga membuatku tak bisa bernafas.

"Dek ... lep-pas. Kakak eng-gak bi-sa nafas nih," ucapku terbata-bata dengan menyeimbangkan oksigen yang masih tersisa.

"Maaf, Kak. Fatiah enggak bermaksud," balasnya menunduk dan melepaskan pelukannya.

"Pokoknya kakak enggak mau tau, kamu harus tanggung jawab." Aku melipat tangan didepan dada dengan wajah yang dibuat cemberut dan kesal.

"Iya, Fatiah tanggung jawab kok," ucapnya polos.

Lengkungan bulan sabit terpampang jelas dibibirku.

"Kakak bisa minta hak enggak?" bisikku.

Dia tampak berpikir sejenak, lalu kulihat matanya menyipit dan detik berikutnya ia mengangguk.

Hati yang dipenuhi rasa kecewa seolah hilang tak berbekas, meninggalkan hanya bunga-bunga yang sedang bermekaran.

Kembali kupeluk dan menghujaminya kecupan dikening, kepala, hingga kedua pipinya. Untung saja hanya kami berdua di ruang, kalo tidak! Bisa malu banget dia.
_________________

To be continued...

Gimana-gimana, baper enggak? Kalo Author sih pas nulis senyum-senyum sendiri, wkwkwk...

Jangan lupa koment, vote and follow....

See you again

The Secret Agent (On-Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang