TSA_16

91 7 0
                                    

Pov Fatiah.

Setelah mereka membawanya pergi, aku bergegas mengejar pembuat onar tadi. Menjengkelkan bukan, saat sedang menghabiskan waktu bersama. Ada saja gangguan dari orang tak tau diri.

"Menyebalkan sekali," umpatku sambil berlari mengejar orang itu.

Namun hasilnya nihil, aku malah kehilangan jejak mereka.

"Ndan, apa mereka kabur?" tanya seorang yang baru sampai.

"Hmm, dimana suami saya sekarang?" balasku bertanya.

"Dia ada di ruangan anda, Bu. Karena tadi dia tak sadarkan diri," ujarnya.

"Baik, saya akan ke sana. Awasi terus tempat ini, jangan sampai kejadian tadi terulang lagi. Paham!"

"Siap, paham Bu!"

Berjalan menuju ke ruangan yang ditunjukkan orang tadi, dengan tergesa-gesa untuk menemuinya.

Tapi sebelum itu, terlebih dahulu menemui Dokter untuk meminta izin pulang.

Tokk ... tokk ... tokk ....

"Iya, masuk!"

"Selamat siang, Dok."

"Iya, selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?"

"Saya ingin pulang, lagi pula sekarang kondisiku sudah lebih baik. Satu lagi, selama saya ada disini. Para pasein maupun orang lain, tidak akan aman Dokter. Saya mau, anda segera mengurus berkas kepulangan saya!" Tegasku dengan menekan setiap katanya.

"Ba-baik, Bu. Saya akan segera lakukan perintah, Ibu."

"Kalau begitu, saya permisi."

Setelah mengatakan itu, aku langsung bergegas ke tempat dimana kak Rein istirahat.

Pov end.

***

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikum salam, Nyonya. Eh, Nona muda sudah pulang. Mari silahkan masuk!"

Itu Bi Inah menyambut kepulangan kami dari rumah sakit. Saat ini, aku dan Fatiah tidak pulang ke rumah. Melainkan ke rumah bunda Fatiah, alasannya supaya saat aku bekerja nanti ada yang bisa menjaga dan merawatnya.

Karena di rumah tidak ada seorang pun, bahkan pembantu. Sama sekali tidak ada.

"Nak, sekarang kalian istirahat. Ayah akan kembali ke tempat pelatihan," ucap ayah.

"Iya, Nak. Kalian kelihatan capek, jadi istirahatlah. Fatiah, ajaklah suamimu ke kamar, Nak. Okay?" sambung bunda.

Aku dan Fatiah hanya mengangguk, lalu berjalan ke atas menuju kamar.

Ceklek

Pintu terbuka, menampakkan ruangan yang sama besarnya dengan kamarku. Namun, nuansana-nya berbeda sekali.

"Kak, ayo masuk!"

"I-iya, Dek."

Kami memasuki ruangan itu.

"Kok, seluruh ruangan ini bernuansa militer gini, Dek?"

"Itu memang kesukaan Fatiah dari kecil, Kak. Emangnya kenapa? Kakak enggak suka?"

"Bukan gitu, Dek. Hanya saja kamu 'kan perempuan, masa kamarnya kayak anak laki-laki. Bukannya hello Kitty atau Doraemon," jawabku.

"Tidak akan terjadi sesuatu tanpa ada alasan dibaliknya, dan semua itu memiliki kisahnya masing-masing."

"Oiya, kakak kok bisa pingsan?" sambungnya bertanya.

"Kok, dia bisa tau kalau aku sempat pingsan?" batinku.

"Hem, enggak papa Dek. Mungkin karena kelelahan," jawabku sedikit berbohong.

Bila kukatakan yang sebenarnya, pasti dia akan merasa bersalah. Hal itu akan membuatnya banyak pikiran, dan tentu akan berdampak pula bagi kesehatannya.

"Oiya, Kak. Mama kok enggak ikut jemput kita tadi? Dan kenapa selama di rumah sakit, mama juga enggak pernah jenguk Fatiah. Emang mama kemana, Kak?"

Sudah berkali-kali ia menanyakan perihal mama, apakah sekarang waktu yang tepat untuk menceritakannya?

Ku hembuskan napas panjang, lalu mengajaknya duduk diatas tempat tidur. Mencari posisi yang baik untuk duduk, agar saat bercerita terasa nyaman.

Setelah itu, kutatap netranya dalam-dalam. Setelah itu kembali lagi membuang napas.

"Dek, dihari saat kamu tertembak. Penyakit mama kambuh, dan ia pun dibawa ke rumah sakit yang sama tempatmu dirawat. Lalu, saat Dokter menyatakan kamu koma. Mama juga menghembuskan nafas terakhirnya, dia pergi selamanya. Dia meninggalkan kakak, Dek."

Air mataku luruh, ini bukanlah tangis pria dewasa. Tapi, tangisan seorang anak yang mengingat Ibunya.

Sungguh malang nasib, takdir memang tak berpihak kepadaku.

"Innalillahi wa innailaihi raji'un, Kak. Kenapa enggak kasih tau Fatiah sejak kemari?"

"Kakak, ingin sekali memberitahukan ini, Dek. Tapi, setiap ingin mengatakannya lidah dan mulut kakak rasanya berat untuk berucap. Kakak tak ingin kau bersedih, hanya itu saja."

"Lalu, kenapa kakak menanggung beban ini sendiri? Bukankah Fatiah adalah istri kakak? Apa kakak tidak percaya denganku?"

"Bu-bukan itu maksudnya, Dek. Kakak hanya tidak ingin kau bersedih," jawabku menangkup kedua pipinya.

Detik berikutnya, ia mulai menangis. Apakah aku jahat, karena sudah menceritakan hal itu padanya? Kalaupun disembunyikan, sampai kapan? Pasti semuanya akan ia ketahui juga, 'kan?

The Secret Agent (On-Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang