Hari ini seperti biasa, aku bersiap-siap berangkat ke kantor. Rumah terasa sepi semenjak kepergian mama, bagai tak ada tanda-tanda kehidupan didalamnya.
Sudahlah, semua itu sudah berlalu. Sekarang aku harus fokus pada Fatiah, yang kini menjadi alasan aku masih bertahan sampai saat ini.
Kuberangkat menggunakan mobil sport berwarna hitam, dengan kecepatan sedang aku melajukannya. Oiya, hari ini aku akan pulang cepat untuk menemui wanita kesayanganku. Tapi sebelum itu, kubeli beberapa bucket bunga untuknya.
Aku tak tau, apa dia suka atau tidak? Tapi yang jelas, semua perempuan pasti menyukai bunga. Apalagi mawar.
***
Sesampainya di kantor, para pegawai menyapaku dengan ramah. Sedang sapaan itu hanya kubalas dengan senyum simpul.
"Pak Dimas ganteng ya, tapi sayang belum punya istri."
"Kata siapa belum punya istri? Aku sendiri lihat pak Dimas nikah."
"Ah, yang benar kamu?"
"Tapi, nggak pernah kelihatan tuh istrinya."
Begitulah gosip para wanita di kantor, namun aku tak menanggapinya sama sekali. Tunggu saja, akan kubawa dia kehadapan kalian.
"Tunggu saja, dia pasti akan kesini." Kataku memasuki ruangan.
Di sana sudah ada Bimo, sekertarisku.
"Pagi, Pak."
"Pagi, Bim. Apa saja jadwal saya hari ini?" tanyaku basa-basi.
"Pukul 9.45 ada pertemuan dengan klien dari Jepang, terus pukul 10.20 ada meeting bersama pak Budi Astono." Jelasnya.
"Oke, ada lagi?" tanyaku memastikan.
"Tidak ada, pak."
"Baiklah, terima kasih, Bim."
"Sama-sama, pak. Kalau begitu saya keluar dulu," pamitnya.
Kini, aku sedang menandatangani beberapa berkas penting. Setelah semuanya selesai, aku langsung ke menghadiri pertemuan dengan orang Jepang itu.
Sejam lamanya kami membahas proyek yang akan dibangun, kini tinggal menandatanganinya. Lalu beberapa saat kemudian, ada panggilan masuk dari Bimo.
"Iya, Bim. Ada apa?"
"..."
"Oh baiklah, terima kasih informasinya."
Sambungan terputus, aku buru-buru menuju rumah sakit. Pertemuan dengan pak Budi Astono dibatalkan, jadi aku akan pergi menemuinya lebih awal.
***
Rumah sakit ....
"Selamat pagi," ucapku memasuki ruangan itu.
"Pagi, Pak." Suster yang sedang mengecek kondisinya menjawab.
"Ada perkembangan apa, Sus?" tanyaku mendekati wanitaku.
"Alhamdulillah, pak. Kondisi pasein semakin membaik," jawabnya.
"Terus kapan dia bisa siuman?" tanyaku lagi.
"Insya Allah, secepatnya pak. Kalau begitu saya permisi," pamitnya setelah memberikan penjelasan.
Kutatap wajah pucat itu, lalu mencium keningnya. Ada rasa bahagia, sedih, dan entah apalagi yang kurasakan saat ini. Sebentar lagi dia akan siumam, tapi kapan?
"Dek, bangun dong. Emang kamu nggak capek apa, tidur mulu?" ucapku lirih.
Sudah lebih dari setahun, aku selalu setia menunggunya. Entah dia juga merindukanku atau tidak. Tapi kuharap dia bisa merasakan yang aku rasakan saat ini.
Kugemggam erat tangannya, sembari sesekali menciumnya.
Entah benar atau tidak, keajaiban itu pasti ada. Mukjizat itu nyata, dan yang hari ini Allah telah menurunkannya serta membuktikannya.
Tangannya perlahan-lahan mulai bergerak. Hal itu sangat membuatku bahagia.
"Dek, kamu sadar. Alhamdulillah," ucapku gembira.
"Kakak panggilin Dokter, ya?"
"Kak," panggilnya dengan suara yang hampir tidak terdengar olehku.
Perlahan-lahan ia mulai membuka mata, mengucapkan beberapa kata.
"Kak, ha-us."
"Bentar ya, Dek. Kakak ambilin," ujarku mulai menuangkan air.
"Nih, Dek. Pelan-pelan saja," tegurku, dan ia hanya mengangguk.
"Kamu tunggu disini, kakak panggilin Dokter, oke?" ujarku, namun sebelum itu ia terlebih dahulu mencekal tanganku.
"Ng-gak usah, kak. Fatiah pengen-nya sa-ma ka-kak," ucapnya dengan terbata-bata.
Ku hembuskan nafas panjang, lalu duduk disampingnya. Entah kenapa, wajahnya begitu cantik meskipun terlihat pucat pasi.
Ia mulai bangkit, menyandarkan kepala pada bantal. Setelah memperbaiki posisi tubuhnya itu, tiba-tiba saja ia memelukku dari arah samping.
Hal itu sungguh membuatku heran. Pasalnya tiba-tiba saja ia bersikap seperti itu.
"Ka-kak ng-gak pa-pa 'kan? Aku ng-gak mau kalau ter-ja-di se-suatu sa-ma ka-kak, hikss ... hikss ...," ucapnya masih terbata-bata dengan sedikit isakkan tangis.
"Ya Allah, dek. Terbuat dari apa hatimu itu? Kau sendiri yang terluka, malah menanyakan keadaanku. Lalu, untuk apa kau menangis jika aku baik-baik saja?" ucapku membatin.
Kuelus lembut kepalanya, dan membalas pelukan itu sambil mencium pucuk kepalanya. Duh, wanitaku ternyata cengeng juga.
"Kamu kok, nangis? 'Kan kakak nggak papa, ternyata seorang Agent bisa cengeng juga, toh?" ucapku terkekeh.
Tapi bukannya marah, malah semburat merah tergambar jelas dipipinya yang tidak tertutup cadar itu.
"Mukanya kenapa?" tanyaku tersenyum.
Ia mendongkak, dan menatap wajahki penuh keheranan.
"Emang muka aku kenapa, kak?" Bukannya menjawab, malah nanya balik.
Hal itu tentu saja membuatku gemes, sampai tak sadar mencubit hidung mancungnya. Hingga membuat sang empu meringis kesakitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret Agent (On-Going)
ActionSepenggal cerita tentang seorang Agent Rahasia yang jatuh cinta pada suaminya sendiri. Namun, suaminya belum bisa membalas perasaan itu. Seiring berjalannya waktu, akankah cinta itu tumbuh? Seseorang yang saling mencintai karena ALLAH, akan berpisah...