TSA_24

116 6 0
                                    

Author Pov.

Kini mereka berdua kembali bercanda ria, hingga tak sadar tamu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Berapa kali ketukan pintu, namun tak ada jawaban sama sekali.

"Apa pak Dimas lupa, ya?" tanya orang itu dalam hati.

Namun tak lama kemudian, Dimas datang dan membuka pintu.

"Assalamualaikum, Pak. Maaf, tadi saya tidak dengar ketukan pintunya," ucap Dimas, sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Wa'alaikum salam, Iya Pak. Tidak apa-apa, saya mengerti."

Memberi salam bukankah orang yang datang itu, tapi kenapa malah Dimas duluan?

Mereka berdua pun masuk, dan duduk di ruang tamu. Fatiah sedang di dapur saat Dimas pergi untuk membuka pintu.

"Dek, siapkan minuman dan makanan kecil untuk pak Bagas!" teriak Dimas dari ruang tamu.

Deg
Jantung Fatiah terasa berhenti mendengar nama 'Bagas', namun dengan cepat ia kembali positif thinking. Mungkin saja itu Bagas yang lain, karena nama Bagas tidak hanya satu dua orang melainkan banyak.

Ia kini berjalan ke arah ruang tamu, dengan nampan berisi minuman dan kue-kue kecil. Setelah meletakkan nampan itu dan mendongkak, Fatiah langsung mundur dan menundukkan kepalanya.

"Dek, sini duduk sama Kakak," ajak Dimas, menepuk tempat di sampingnya.

Fatiah bergeming, lalu kemudian menuruti perintah suaminya. Ia kemudian duduk di samping Dimas, dengan tubuhnya tidak terlalu terlihat karena tubuh kekar milik Dimas.

"Oh iya, Pak Bagas. Kenalin istri saya, Fatimah." Dimas memperkenalkan Fatiah sambil memegang erat tangan sang istri, membuat Bagas sedikit kikuk berada diantara pasangan itu.

Bagas melipat tangan di depan dada, seperti orang India saat ingin memberi salam. Karena ia juga tahu, dalam islam tidak boleh bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram.

Fatiah hanya membalasnya dengan anggukkan kecil, lalu menatap dalam-dalam netra milik suaminya. Mengisyaratkan bahwa ia ingin ke kamar, namun Dimas malah tidak peka dan lebih fokus dengan Bagas.

'Kak Dimas kenapa sih nggak peka amat?' batin Fatiah mendengus kesal dan bertanya dalam hati.

Sebenarnya Bagas asli orang Indonesia, hanya saja tinggal dan membangun usaha di Singapura. Dia kembali ke Indonesia karena memiliki rekan di sini, seperti Dimas.

"Bagaimana Pak?" tanya Dimas membuka pembicaraan.

"Formal saja Dim, jangan panggil 'pak'. Saya belum tua, bahkan belum punya istri," ucap Bagas tersenyum.

Dimas hanya mengangguk.

"Saya pikir anda sudah memiliki pasangan, ternyata kedahuluan saya. Kenapa ditunda-tunda, Gas?"

Bagas tak menjawab, ia malah melirik ke arah Fatiah yang sedang menunduk itu.

"Sudah pernah ta'aruf, Dim. Mungkin belum jodoh, makanya batal. Padahal saya sudah mencintai gadis itu," tutur Bagas.

"Wah, kok bisa batal Gas? Mana mungkin ada yang nolak kamu? Masih muda, pengusaha sukses, dan pintar agama. Siapa wanita yang tidak bisa engkau luluhkan dengan semua kelebihanmu itu?"

Lagi-lagi Bagas tidak menjawab, ia memilih tersenyum ke arah Dimas.

"Kok malah bahas itu, ya? Saya pikir kita di sini akan bahas proyek," ujar Bagas terkekeh.

"Oh iya, saya minta maaf. Mari kita mulai."

Dimas dan Bagas pun mulai membahas proyek mereka, sesekali Dimas menoleh dan tersenyum ke arah Fatiah. Yang kini meletakkan dagunya di atas bahu Dimas, ia sama sekali tidak merasa terganggu.

Kurang lebih satu jam berlangsung, begitu pula Fatiah yang tak bosan menemani sang suami. Hingga akhirnya proyek itu selesai.

"Wah, saya tidak menyangka. Ternyata kamu sangat cerdas Dimas," puji Bagas.

"Kamu bisa aja, Gas. Semua itu berkat anugerah dari Allah, serta ikhtiar dan dukungan dari bidadariku." Dimas mengecup punggung tangan Fatiah, membuat Bagas tersenyum kikuk.

"Kak, jangan lakuin itu di sini. Ada tamu loh," bisik Fatiah.

Dimas hanya mengangguk, dan tersenyum lagi ke arah istrinya.

"Ternyata benar kata orang, dibalik kesuksesan seorang pria ada wanita hebat di belakangnya."

"Maaf, Gas. Anda salah besar, seorang pria yang sukses memang memiliki wanita hebat. Namun bukan di belakang, melainkan di sampingnya. Menggenggam erat tangannya, dan membawanya turut andil dalam semua urusan kita dengan batas-batas tertentu." Dimas menjelaskan dengan tutur kata yang sopan dan baik, membuat Bagas berdiri dan bertepuk tangan.

Prok ... prok ....

"Saya sangat kagum dangan kamu, Dimas. Dan istrimu sangat beruntung mendapatkanmu," puji Bagas lagi.

"Bukan dia yang beruntung, tapi saya." Bagas dan Dimas saling berpelukan dan berjabat tangan, setelah itu Bagas izin untuk pulang.

"Kalau begitu saya pulang dulu, Dim."

"Hati-hati, Gas. Semoga kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan."

Bagas mengangguk dan melangkah keluar, tak lupa melirik Fatiah yang setia mengandeng tangan Dimas dengan mesra. Namun tetap menunduk.

'Aku menginginkannya, tapi kau telah memilikinya. Lalu apa kau akan memberikannya, jika keinginanku adalah dia?' batin Bagas.

Pov end.
_________

Wah, sebenarnya Bagas itu kenapa ya? Dan apa ia pernah memiliki hubungan dengan Fatiah? Kalau iya, kenapa Fatiah tidak pernah menceritakannya pada Dimas?

Apakah setelah mengetahui yang sebenarnya, Dimas masih akan mempertahankan Fatiah atau justru sebaliknya?

😁Auto bingung 😁
💕A. Al Jannah💕

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Secret Agent (On-Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang