TSA_11

90 10 0
                                    

"Aww, sakit kak," ringisnya sambil menoel-noel ujung hidungnya.

Sesaat kemudian, ia pun tersadar. Lalu melepaskan pelukannya.

"Kak, cadar Fatiah mana?" tanya mencari keberadaan benda itu.

Ya Allah, emang udah lama nggak dipakai kali, dek. Emang kemana aja sih, kamu? Oiya, ya. Kamu 'kan sedang koma, dasar aku.

"Nih," ucapku memberikan kain itu.

"Jadi selama aku koma, cadarku dilepas, Kak?" tanyanya sambil memasang kain itu kewajahnya.

"Enggak dong, mana mau aku."

"Lah, terus?" tanyanya sambil memakai kain itu.

"Jadi setiap kakak ke sini, kakak bilang sama Dokter kalau perawatnya lelaki tolong cadar istri saya dipakaikan, tapi kalau perawatnya perempuan bisa aja dibuka. Jadi, selama ini perawat yang masuk hanya perempuan, doang. Laki-laki mah cuma kakak sama ayah," jelasku panjang lebar dan dia hanya ber'oh'ria.

"Astagfirullah, jadi lupa kasih tau ayah sama bunda."

Segera kuambil benda pipih dalam saku jas yang kupakai. Lalu memencet nama 'bunda'.

Tak berselang lama, bunda langsung mengangkatnya.

"Halo, Assalamualaikum bunda."

"..."

"Iya Bunda, semua baik-baik saja. Tapi ada kabar gembira buat ayah sama bunda."

"..."

"Fatiah, Bun. Alhamdulillah sudah siuman."

"..."

"Iya, Bun. Kami tunggu."

Sambungan terputus, aku kembali memasukkan benda tersebut kedalam sakuku.

"Kak."

"Iya, dek. Kenapa?"

"Aku pengen pulang," rengeknya yang malah membuatku tersenyum.

"Kak, ih. Pengen pulang pokoknya." Ia kembali merengek, sambil menggoyangkan tanganku.

"Ada syaratnya," balasku.

Seketika wajahnya berbinar. Lalu bertanya, "Apa, kak?"

"Setelah pulang nanti, jangan lakukan sesuatu yang membuat kamu akan sakit lagi. Setuju nggak?"

Wajahnya yang semula berbinar, kini menjadi cemberut hingga membuat bibirnya maju beberapa centi.

"Nggak boleh, aku 'kan agent Kak! Dan kakak jangan pegan tangan Fatiah ih, belum halal," ucapnya.

"Oh, jadi belum halal?" tanyaku dan dia hanya mengangguk, "Terus yang meluk tadi, gimana dong? Dosa deh."

"Kalau itu mah, enggak dosa Kak."

"Kok, bisa?"

"Aku 'kan peluk suamiku, bukan meluk kakak."

"Ya Allah, dia berhasil mengerjaiku. Tunggu saja, setelah kau sembuh akan kubalas perbuatanmu ini, sayang." Pikirku membatin.

Ia terlihat cantik dengan senyuman kemenangannya, dan aku juga merasa bahagia atas hal itu. Melihat kondisi kami sekarang, aku berpikir apakah ini kebahagiaan yang sempat tertunda itu?

Bisa kukatakan iya, tapi kala mengingat mama kembali. Sungguh hatiku menjerit kesakitan. Namun semua itu bisa berkurang dengan melihatnya tersenyum.

The Secret Agent (On-Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang