TSA_18

100 10 0
                                    

"Belanjanya itu aja?" tanyaku, namun tak digubris olehnya.

Aku hanya mampu menghela nafas panjang, beginilah jadi guys jika belanja sama perempuan. Ribet plus puyeng.

"Kak, belanjanya cukup enggak segitu?" tanyanya balik sambil melirik troli berisi aneka bahan dapur itu.

"Mungkin," jawabku dengan agak cuek.

Gimana enggak cuek, orang tanya enggak dijawab. Tapi dianya malah nanya balik. Kesallah diriku.

"Kalo gitu, kakak dorong dong trolinya. Biar tangan kakak aku yang pegang."

"Modus," ucapku terkekeh.

"Enggak kok, siapa yang modusin kakak?" elaknya.

"Udah ah, ke kasir aja sekarang. Habis itu kita pulang," ujarku malas.

Dia mengangguk, lalu kami segera menuju kasir.

Kenapa denganku saat ini? Rasa malas serta bosan tengah menyelimuti diriki, pengen buat sesuatu tapi tak tau apa.

30 menit berlalu, dan belanjaannya pun sudah masuk ke dalam mobil.

Untung aja mobilnya datang tepat waktu, kalo enggak bisa berabe 'kan?

"Kak, kenapa? Mukanya kok ditekuk gitu?"

"Nggak tau nih, bosan aja gitu. Pengen buat sesuatu tapi enggak tau apa," jawabku lesu.

"Anak!"

"Apa?!" Mataku melebar, sontak membuaku terkejut sekaligus bingung.

"Anak?" Aku menyerit, entah apa yang dipikirkannya saat ini.

"Udah, jangan ngaco. Sekarang kita pulang," sambungku, dan membuka pintu mobil.

"Terus motornya?"

"Entar si Bimo yang kendaraiin, kita naik mobil aja. Mataharinya juga panasnya sungguh terlalu," ucapku terkekeh, dan ia hanya tersenyum kearahku.

Setelah itu, kujalankan mobil. Selama perjalanan pulang, tak ada obrolan sama sekali. Hanya suara kendaraan yang tengah berlalu lalang melintasi jalanan, sesekali kucuri pandang padanya. Namun kali ini, kukatakan bahwa usaha telah mengkhianati hasilnya. Pasalnya ia tak menatapku balik.

"Punya bini gini amat, pengennya romantis. Tapi dia kagak pernah peka," gumamku.

"Kak?" tatapnya padaku.

"Hmm."

"Fatiah pengen tanya sesuatu," ucapnya lagi.

"Apa?" Aku melirik sekilas, lalu kembali fokus menyetir.

"Apa kakak pernah merasa menyesal beristri denganku?"

"Pertanyaan macam apa itu?" Bukannya menjawab, tapi malah tanya balik. Entah kenapa dia bertanya sesuatu yang menurutku tidak berguna itu.

"Fatiah hanya ingin tau perasaan kakak saat ini, jangan sampai harapan Fatiak pupus di tengah jalan, Kak."

Aku segera menepikan mobil, lalu menatapnya dalam-dalam.

"Harapan apa maksudmu, Dek?"

"Sudah, lupakan saja. O iya, perasaan kakak gimana kalo Fatiah tiba-tiba pergi tanpa pamit?"

"Kamu ngomong apa sih? Enggak usah ngawur, lagian ngapain nanya kek gitu?"

"Kamu harus tau, Dek. Meskipun kakak belum memiliki perasaan apapun sama kamu, tapi percayalah kakak sangat menyayangimu. Sudah cukup kakak kehilangan orang yang disayang, sudah cukup. Kamu jangan pernah berpikir untuk ninggalin kakak," sambungku, tanpa terasa air mataku lolos begitu saja.

"Maaf, Kak. Fatiah cuma--."

"Sstt, jangan bicara lagi Dek. Kakak mohon."

Kurengkuh tubuhnya dalam dekapanku, ada rasa sakit yang menjalar saat ia mengatakan akan pergi tanpa pamit. Kenapa sakit sekali jika sudah berurusan dengan makhluk yang satu ini?

Membuat siapapun menurut padanya, meskipun itu seorang raja.

"Udah, sekarang kita pulang. Lagian udah mau sore juga, dan kakak juga sudah laper, nih," ucapku mengalihkan pembicaraan.

"Eh? Iya, sampai lupa. Kakak sih," balasnya cemberut dan melepaskan dekapanku.

"Kok jadi nyalahin kakak, sih. Kebiasaan deh," ujarku sebal.

"Uyuyu, ada yang ngambek nih. Heheh." Dia mencubit kedua pipiku.

"Hmmm."

***

Saat ini hati dan pikiranku sedang bernegosiasi, entah urusan apa yang dibahas keduanya hingga membuatku pisung.

Ku pijat kedua pelipis yang terasa agak sakit, tiba-tiba tangan mungilnya menyentuh kepalaku dengan lembut.

"Kak?"

"Iya, Dek."

"Sakit kepala?"

"Hmmm."

"Aku pijitin, gimana?"

"Boleh, Dek. Emang enggak ngerepotin?"

"Enggak kok, lagian 'kan udah tugas Fatiah layanin kakak. Sini kepalanya." Dia meletakkan kepalaku diatas pangguangnya.

Sekitar 15 menit lamanya, "Kak, udah mendingan?"

"Alhamdulillah, Dek. Makasih ya," ucapku tersenyum.

"Hmm, enggak semudah itu. Kakak harus bayar Fatiah," balasnya tersenyum, dengan senyuman yang sulit diartikan.

Aku menyerit mendengar perkataannya, sebuah imbalankah maksudnya?

"Hm, butuh berapa juta?"

"Siapa yang minta uang, Kak?"

"Kamu tadi minta bayaran, ya uang 'kan."

"Ya Allah, Kak. Bukan itu maksud Fatiah."

"Terus?"

"Fatiah pengen latihan nembak lagi, tapi kakak harus temenin."

"Kakak temenin?"

"Iya, 'kan Fatiah pengen nembak hatinya kakak," jawabnya cengengesan.

The Secret Agent (On-Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang