Halo, saya mau berbagi sedikit pengalaman saya sebagai seorang bisexual woman.
Sejak SMA, saya sebenarnya sudah sadar kalau saya tertarik sama perempuan juga, bukan hanya laki-laki. Tapi, saya tumbuh di lingkungan yang sangat kental heteronormativity-nya, jadi saat itu saya ada pada denial stage. Saya merasa berdosa, saya benci diri saya sendiri, saya merasa menjijikkan. Kurangnya informasi dan representasi LGBTQ+ yang bisa saya akses waktu itu juga mungkin yang membuat saya sulit untuk berdamai dengan diri sendiri.
Saya bahkan sampai pada projecting stage, di mana saya melampiaskan kebencian saya pada diri sendiri ke orang lain. I made comments I'm not proud of, words I wish I could take back. But I didn't know better at that time, both about myself and fellow LGBTQ+ people.
Lalu sesuatu menyelamatkan saya, sesuatu itu tepatnya sebuah novel berjudul Radio Silence karya Alice Oseman. Karakter utama novel itu mengatakan sesuatu yang sangat sederhana: "I can see myself being with a boy or a girl." Dia mengatakan itu dengan sangat kasual, hal itu diperlakukan dengan wajar. I found myself nodding and muttering, "Yes, me too. I feel that way too!"
Saya mulai banyak baca soal LGBTQ+ setelah itu, exploring about myself and other people like me. I consumed more LGBTQ+ contents, in hope to find representation. Ini sebuah perubahan yang drastis tapi saya merasa nyaman.
I was 22 (not long ago) when I finally accepted myself, and I felt great. It felt liberating, somehow, even though I haven't told anyone. Since then, I started writing more diverse characters. I aspire to be like Alice, to be a queer writer who gives comfort and hope to fellow queers.
The first person I came out to is now my partner. They also helped me to feel more comfortable with myself.
Struggle saya tidak berakhir di situ. Saya ini hitungannya masih closeted, mungkin setengah closeted. Karena di internet saya sudah terbuka, tapi di dunia nyata? Saya tidak berani. Ketakutan itu masih ada. Saya masih bersembunyi, hampir setiap hari dihadapkan dengan opini-opini yang menentang keras LGBTQ+, baik dari dosen dan teman sekelas atau pun keluarga. Mereka memang berbicara secara general, tapi saya tetap merasa seakan saya yang diserang. I cried sometimes, it hurts even though I try to ignore it.
Saya tidak bisa membicarakan betapa bahagianya saya dengan partner saya secara bebas seperti orang lain, because here it's socially unacceptable. (Partner saya seorang non-binary person.) Even to imagine myself holding their hand in public I wouldn't dare. Ada pula concerns lainnya, bagaimana kalau saya tidak bisa dapat pekerjaan? Bagaimana kalau saya dibuang oleh keluarga saya? Atau hal-hal lainnya yang lebih buruk.
Salah satu komentar yang sering saya dengar tentang biseksual yang membuat saya marah dan sedih adalah: "Setidaknya kamu bisa pacaran dengan lawan jenis, kamu bisa pura-pura straight." Bahkan ada yang melihat ini sebagai sebuah privilege untuk biseksual. Kami dianggap straight passing.
Straight passing is an invisibility in itself, and I don't feel like it's a privilege. It's like we are being erased. I don't want to pretend to be something that I am not. It doesn't feel right and it's a mental torture.
I am what I am and I want to be proud of it.
I want to walk freely without burden, without judging stares following my steps.
I want to stop hiding.
Mungkin saat itu datangnya masih lama, tapi saya masih mau berharap. Dan untuk saat ini, setidaknya saya sudah menerima diri saya sendiri.
The world is not so kind, but I'm trying to be kind to the world. Hopefully, the world will return the kindness someday.
Pengalaman ini mungkin tidak berbicara untuk biseksual lainnya, dan masih banyak hal-hal yang tidak bisa saya sampaikan. But I'm thankful that I can share this with you here, I feel less alone, and maybe, I hope, you feel that way too. 💖
KAMU SEDANG MEMBACA
Kotak Surat LGBTQIAP+ Indonesia
RandomSekumpulan surat untukmu yang mau membaca curhatan dari LGBTQ+, baik dari pembaca, penulis, dan pelaku. Pihak pro dan pihak kontra. Semuanya menjadi satu di sini.